Rabu, 27 Oktober 2010

Cinta Itu Berawal Dari Sebuah Kamar

Oleh: Sally Rosalina

Manisku, aku akan terus jalan
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru.
(Sebuah Tanya, Soe, 1969)


Jijik, sebuah kata yang selalu kupendam jika aku bertemu atau sedang membayangkan kawan laki-lakiku yang bernama Amat. Dia seusia denganku, kulitnya kuning dan pucat, seolah-olah tidak pernah tersinari matahari, namun jika aku dekati dia, aromanya benar-benar seperti nasi aking yang baru saja dijemur, ditambah dengan bau infeksi dari lubang telinganya yang nampak selalu berair, giginya besar-besar dengan dominasi warna hitam. Dia adalah kawan laki-lakiku yang paling payah rupanya, namun entah karena suatu sebab alamiah yang berasal dari reaksi kimia tubuhku dan tubuhnya, kami merasa benar-benar cocok. Kami berdua adalah pasangan yang cukup manis, seperti Beauty and the Beast (tentu saja, akulah si ‘Beauty’, ha-ha!)

Sore itu, 15 Januari 1998, aku sedang bertengger di sebuah cabang pohon yang basah dan licin karena hujan tadi siang sambil memerhatikan anak-anak ayam peliharaannya yang baru saja menetas beberapa hari yang lalu. Saat itu, Amat yang baru saja membeli satu ons bawang merah dari warung terdekat berteriak padaku dari bawah pohon dengan sebuah suara yang mirip dengan Popeye yang sedang menghisap cerutu, mungkin di alam semesta ini hanya aku yang paling mengerti ucapannya. Kira-kira seperti inilah teriakannya, ”Hey, monyet, turun!”.

Si monyet yang cantik pun turun dengan melompat dari ketinggian satu meter dan mendarat di atas kerikil-kerikil tumpul yang cukup membuat badannya terguling dan lecet-lecet. Benar-benar sepandai monyet!

Tak peduli dengan ketololanku yang kini sedang meringis kesakitan di hadapannya, Amat mengajakku berkunjung ke rumah Pak Hariman, tetangga kami yang wajahnya mirip dengan aktor Toro Margen. Amat berkata jika Pak Hariman baru saja membuka sebuah perpustakaan di sebelah rumahnya yang dulu bekas pekarangan.

Dengan tidak memiliki motivasi positif apapun, aku ikuti saja kemauannya. Sebenarnya hari itu aku sudah begitu malas menghadapi rutinitas sekolah yang setiap hari memaksaku memikul berbagai beban pe-er. Mungkin, itulah yang dirasakan sebagian penduduk bumi yang berusia dua belas tahun dan duduk di bangku SMP. Makanya, jika ada ajakan seajaib apapun yang keluar dari mulut Amat saat itu, aku akan menurutinya, hal ini lebih baik daripada harus melihat proses pengeluaran isi perut anak-anak ayam melalui rektumnya.

Setelah Amat menyerahkan pesanan bawang merah ibunya, dia segera menantangku lomba lari menuju rumah Pak Hariman. Aku terima tantangannya dan kemudian melesat menuju rumah Pak Hariman yang letaknya sekitar sepuluh menit berjalan kaki dan berada di sepanjang jalan menuju kaki bukit. Kami terus berlari, saling menyusul sambil tertawa-tawa yang kami sendiri tidak tahu apa yang sedang kami tertawakan, mungkin hanya sebuah bentuk kebahagiaan murni masa kecil.

Dari kejauhan, rumah Pak Hariman terlihat eksentrik, dengan bentuk rumah sederhana tipe 21 yang semua dindingnya dipulas warna jingga dan pagar besinya diberi warna hijau terang. Setiap orang yang melihatnya akan mengira jika sang empunya rumah pastilah orang yang buta warna.

Ketika tiba di depan rumah Pak Hariman, aku dapat melihat sebuah bangunan mungil, semacam kamar yang seolah-olah terpisah dari bangunan utamanya, luasnya sekitar lima kali enam meter persegi. Amat menunjuk tempat itu dan berseru jika tempat itulah perpustakaannya. Aku merasa kamar itu dibangun dengan asal-asalan dan tergesa-gesa di atas sebuah lahan yang dulunya adalah tempat tumbuh beraneka macam bunga yang berwarna-warni. Bangunan itu muncul seperti seekor buta ijo yang mengacak-acak rumah para dewa di kahayangan. Ini sama sekali bukan perpustakaan! Tempatnya tidak luas, tidak tinggi, dan hanya terbuat dari papan-papan kayu.

Tiba-tiba, dari belakang kami terdengar suara berat yang mengatakan bahwa tempat itu bukanlah perpustakaan. Kami menengok ke belakang dan memang betul, suara berat itu memang milik Toro Margen kita, Pak Hariman; seorang dosen dan ayah dari dua orang anak, dia selalu senang membantu seorang tetangganya yang motornya sering rusak. Saat itu si Toro Margen mengenakan kaus abu-abu loakan yang bertuliskan Freedom Is Never Free, dan dari keeksentrikannya aku yakin jika dia memiliki kecenderungan untuk apolitik, meskipun di pintu rumahnya tertempel miring stiker kuning bergambar pohon yang sering dijadikan rumah para dedemit, penyamaran politik yang cukup canggih!

Sambil memegang bahu Amat, dia menjelaskan jika tempat itu pada dasarnya memang sebuah perpustakaan, namun dia lebih senang menyebutnya dengan taman bacaan, sebuah istilah baru dan aneh bagiku, namun cukup imajinatif, ta-man ba-ca-an! Kemudian, dia mempersilakan kami memasuki taman bacaannya itu.

Ketika memasukinya, aku langsung dapat mencium bau semen basah dan serbuk kayu yang disamarkan oleh pewangi ruangan beraroma jeruk. Mataku berkeliling menyaksikan empat rak buku yang cukup besar bersandar pada masing-masing dinding kayu. Rak-rak itu berisi lusinan, atau mungkin ratusan buku.

Pak Hariman mempersilakan kami untuk membaca buku-buku itu sepuas hati kami. Dan dari sinilah Pak Hariman membuka peluang bisnisnya. Dia menjelaskan jika kami ingin membawa buku-buku itu pulang, maka kami akan dikenakan biaya sesuai tarif. Komik seharga dua ratus rupiah perhari, buku-buku fiksi dan non-fiksi lima ratus perhari, dan majalah lima ratus perhari. Namun Pak Hariman melarang kami membawa pulang buku-buku yang tersimpan di rak paling atas. ”Bahaya”, katanya.

Dengan penuh kepolosan dan rasa ingin tahu yang terlalu besar, Amat bertanya mengapa buku-buku itu bisa berbahaya, seolah-olah buku-buku itu akan akan mengeluarkan taring dan mengigit dirinya. Kemudian Pak Hariman menjawabnya dengan panjang lebar dan membosankan. Aku tidak terlalu tertarik dengan perbincangan itu, yang bisa kutangkap dari Pak Hariman hanya kata-kata seperti polisi, hati-hati, penculikan, bakar, komunis, dan istilah-istilah lain yang tak seharusnya Pak Hariman katakan pada kami yang baru saja mempelajari naskah proklamasi di buku sejarah sekolah.

Tiba-tiba Pak Hariman tertawa setelah melihat kejut ketakutan di wajah Amat. Mungkin Amat sedikit gentar ketika nama ’polisi’ disebut-sebut. Pak Hariman segera menenangkannya dengan mengatakan bahwa dia hanya ingin warga desa kami bisa dan mau mengerti tentang persoalan-persoalan bangsa dan dunia saat ini, dan langkah yang paling efektif adalah melalui buku sebagai jembatan ke tempat yang lebih terang benderang. Itulah tujuan Pak Hariman mendirikan sebuah kamar sempit yang berjejalan buku ini.

Untuk beberapa saat kamar itu menjadi hening. Kulihat mata Pak Hariman terlihat lebih sendu dan menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu yang belum terselesaikan. Lalu, dia menarik napas panjang dan sedikit tersenyum pada kami sambil berkata bahwa dia akan meneruskan pekerjaannya yang tadi sempat terpotong oleh kedatangan kami.

Setelah Pak Hariman keluar dari sana, langsung kudekati rak-rak itu. Aku mencium bau lembab dan kamper, kulihat sebagian kertas dari buku-buku tersebut sudah menguning dan pinggirannya sobek-sobek seperti dimakan usia. Di tengah ruangan yang kosong, telah terhampar karpet tipis murahan berwarna hijau.

Beberapa menit kuamati buku-buku itu dan bertanya-tanya dalam hati apakah Pak Hariman membaca semua buku ini. Ada sebuah perasaan haru dan bangga yang tak dapat kumengerti ketika menyaksikannya. Hebat, rumah Pak Hariman yang sederhana ini ternyata menyimpan kekayaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Kekayaan yang mungkin melebihi kekayaan orang-orang terpandang di desaku yang dengan penuh kenaifan menjual tanah warisan nenek moyangnya kepada para pengusaha real-estate. Kekayaan Pak Hariman yang tak terbeli bulan purnama itu bernama ilmu dan intelektualitas.

Di rak paling bawah, aku melihat lusinan novel yang warna sampulnya menyilaukan mata sekaligus menggoda bagi seorang anak dua belas tahun sepertiku. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta pada sebuah novel, walau sebatas sampulnya saja. Sebelumnya, aku belum pernah sekalipun membaca novel, selama ini aku hanya membaca komik, itu pun hanya yang bergambar robot kucing dari Jepang. Novel yang sampulnya berwarna-warni permen itu berjudul Goosebumps karangan R. L Stine.

Dengan penuh kenekadan, aku pinjam dua buah novel Goosebumps, berikut lima buah komik kucing favoritku. Sementara, Amat tidak meminjam apapun. Aku berhutang dulu saja pada Amat untuk membayar buku-buku yang kupinjam, aku sedang betul-betul bokek. Hari itu aku menjadi tahu jika taman bacaan adalah semacam tempat penyewaan buku.

Pak Hariman segera tiba di kamar itu setelah Amat memanggilnya. Lalu, dia menuliskan namaku, judul buku yang dipinjam, dan tanggal pengembaliannya pada sebuah buku tulis besar bersampul batik.

Ketika kami keluar dari ruang sempit itu, udara tiba-tiba terasa menjadi begitu segar dan hampir mengagetkan kulit wajah dan hidungku. Kombinasi aroma semen basah, serbuk kayu, pewangi jeruk, dan kamper tanpa kusadari telah membuat kepalaku terasa pening. Kuhirup oksigen sekuat-kuatnya sambil melangkah pulang meninggalkan taman bacaan ’buta ijo’ itu.

Malam harinya, dengan rasa penasaran yang menggila, kubaca habis dua novel yang kupinjam itu dalam waktu tak kurang dari tiga jam. Wow! Wow! Eureka! Tak pernah kubayangkan jika membaca buku bisa sangat mengasyikan. Malam semakin larut, dengan penuh kegelisahan dan keterpaksaan, kupejamkan mata sambil tetap membayangkan petualangan ajaib dan menggetarkan yang baru saja kualami di dunia Goosebumps.

Kini, taman bacaan itu telah memiliki nama, Taman Bacaan Matahari. Meskipun begitu, aku dan Amat tetap menamainya dengan Buta Ijo. Pada hari-hari berikutnya, tempat itu menjadi sebuah candu bagiku. Aku memilih kelaparan pada jam istirahat sekolah demi membayar buku-buku yang akan kupinjam dari Pak Hariman. Seringkali aku meminjam buku yang sama lebih dari satu kali dan kubaca berulang-ulang.

Semua seri Goosebumps telah habis kubaca, kemudian aku beralih dengan membaca buku yang pengarangnya adalah orang-orang Indonesia. Pertama kali yang aku baca adalah ’Kejar Daku Kau Kujitak’ dan ’Olga dan Sepatu Roda’ karangan mantan wartawan majalah Hai, Hilman Hariwijaya. Setelah itu, aku lanjutkan dengan membaca karya-karya yang lebih menantang, seperti kumpulan cerita pendek ’Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’ karangan Idrus. Kubaca buku ’Ave Maria’ itu dimana pun aku berada; di tempat tidur, di dapur, di ruang kelas, di angkot, hingga di jongko tukang bakso. Suatu kali si tukang bakso dengan penuh penghayatan mendengarkan lagu ’Jatuh Bangun’ milik Meggy Z dari radio bututnya, sementara aku duduk di jongko itu sambil membaca dampak Perang Dunia II terhadap celana khaki yang dikenakan orang Indonesia selama revolusi dalam ’Ave Maria’, aku masih merasa kejadian itu seperti sebuah keajaiban alam.

Berminggu-minggu kemudian aku terus datangi ’Buta Ijo’ tanpa ditemani oleh Amat. Aku sudah sangat jarang bertemu dengannya, tidak tahu kemana rimbanya bocah jelek itu, nyatanya dia tidak pernah ada di rumah. Hingga, pada suatu subuh di hari Minggu, ada suara laki-laki yang sepertinya menahan isak tangis keluar dari pengeras suara masjid yang memberitahukan jika Amat telah meninggal dunia. Aku tidak ingat apakah saat itu aku merasa sedih atau tidak atas berita kematiannya yang mendadak itu, yang jelas aku tidak menangis. Namun, aku ingat beberapa hari berikutnya aku merasa seperti galon air tanpa isi; kosong, kosong, ... kosong.

Beberapa waktu kemudian aku tahu jika Amat terkena penyakit liver dan sudah dirawat dua minggu di rumah sakit sebelum kematiannya.Bagi sebagian besar orang hari-hari berikutnya terasa sama, namun tidak bagiku. Hingga hampir sepuluh tahun kemudian aku menyadari bahwa Amat adalah kawan laki-lakiku yang paling tampan. Kebaikannya menyamarkan bau badannya, infeksi di telinganya, dan noda-noda hitam di giginya. Dialah orang yang pertama kali mengantarkannku pada dunia yang terang benderang ini.

Aku tahu jika Tuhan menciptakan alam semesta secara sempurna, begitu pun halnya pada nasib manusia. Inilah hal yang kurasakan pada saat itu. Kekosongan ini bertambah sempurna ketika Pak Hariman memberitahuku jika dia beserta keluarganya akan pindah rumah ke Sumedang. Dan, tentu saja hal ini menyadarkanku bahwa nanti tidak akan ada lagi tempat bagiku untuk menghabiskan waktu seusai pulang sekolah, tidak ada lagi tempat untuk berkeliling dunia, tidak ada lagi tempat berfantasi di alam yang penuh keajaiban, tidak ada lagi tempat sempit dengan aroma jeruk dan kamper yang sering memusingkanku. Di saat seperti ini pun aku tidak bisa menangis. Hanya mual, itu saja, sebuah akumulasi kesedihan yang bertumpuk pada tukak lambungku!

Sebelum meninggalkan rumahnya, Pak Hariman memberiku sebuah kenang-kenangan, yaitu sebuah buku kumpulan puisi karangan dirinya dan kawan-kawannya saat dulu dia menjadi seorang aktivis ’74. Kumpulan puisi yang benar-benar indah dan mengugah karena berasal dari orang-orang jujur dan tulus seperti Pak Hariman.

Setelah peristiwa itu, aku mencari cara untuk mengatasi ’candu’ku ini, terpaksa kukunjungi perpustakaan kota yang jaraknya dari rumahku paling tidak seperti dari Bumi ke Mars. Aku semakin keranjingan membaca, seolah-olah dewa kutu buku sedang merasukiku, ada semacam energi baru dalam diriku untuk terus menerus membaca dan belajar menjadi seorang cendikia yang baik seperti Pak Hariman. Kini, tujuanku membaca tak lagi sebatas mengisi waktu luang seusai sekolah atau mencari penghiburan semata. Tujuanku melebihi itu semua, aku mencari ide-ide yang mencerahkan, sebuah inspirasi, kedamaian, rasa kemanusiaan, atau bahkan drama kehidupan.

Semasa SMA, aku mulai menyukai non-fiksi, terutama biografi dan sejarah yang ternyata isinya lebih mencengangkan dari kisah-kisah dalam dunia fiksi. Namun, aku tetap membaca karya-karya sastra, seperti ’Di Bawah Naungan Kabah’ karangan Buya Hamka yang memberiku perspektif lain tentang cinta dan kasih sayang. Lalu, aku mulai suka membaca beberapa karangan dari Umar Kayyam, Mochtar Lubis, dan Pramoedya Ananta Toer, serta karya-karya terjemahan.

Buku telah kian menambah pengetahuanku tentang alam dan manusianya. Ada suatu perasaan menggebu yang timbul untuk memberikan rasa cinta dan sayang pada keduanya. Aku kira perasaan ini jauh lebih manis dan puitis dibandingkan dengan kisah cinta dua insan mana pun di dunia ini. Aku ingin menjadi bagian dari mereka yang telah mengubah perjalanan sejarah dunia dan masyarakatnya menjadi lebih baik, terutama lewat tulisan-tulisannya. Namun, aku merasa masih belum sepenuhnya memiliki jiwa ksatria untuk menghadapi segala konsekuensi yang akan kuhadapi melalui tulisan-tulisanku. Ya, aku akan belajar lagi.

1 komentar:

  1. judul yg menarik, cerita yg menarik nan menggemaskan :) sangat alami sekali :D
    nice bu :D

    BalasHapus