Minggu, 28 November 2010

Dimas dan Sepeda Tua

Siang, saat mentari timpa kepala, Dimas menuju pulang. Di atas sepeda jaman Jepang itu ia mengayuh sepedanya, melintasi jalan-jalan kabupaten yang kiri dan kanannya terbentang pesawahan yang sudah menguning. Dimas tak sabar memberitahu sang bunda bahwa ia mendapat peringkat nilai rapor tertinggi di kelasnya.

Kayuh, kayuh, dan kayuh, Dimas melaju sekencang-kencangnya bagai seorang tukang becak yang tak sabar mendapat bayaran tertinggi di dunia. Ia hisap semua udara ke dalam rongga dadanya, termasuk asap hitam yang keluar dari mobil-mobil yang berkelebatan angkuh, melesat jauh melampaui sepeda tuanya.

Seragam putih SMPnya mulai usang dan menguning, lembab oleh peluh. Ia jilati bibirnya yang sudah begitu kering dan pahit. Dahaga yang tak tertahankan hampir menggoyahkan semangat Dimas untuk mengayuh sepedanya. Semua hal remeh temeh itu tak jadi soal, di depannya hanya ada sosok ibu. Ibu dengan pancaran senyum di wajahnya, bangga dengan kepandaian Dimas, sang putra sulung, biji matanya.
Ibu, Ibuku sayang. Dimas akan persembahkan nilai ini untuk Ibu.
Sudah satu kilometer perjalanan yang Dimas tempuh. Masih ada dua kilometer lagi mencapai pagar rumah. Dimas merasa jarak yang pendek ini bukanlah apa-apa dibandingkan dengan ribuan kilometer yang sudah ibunya tempuh demi masa depannya dan adik-adiknya. Dan, hingga kini, ibunya masih saja terus berjalan melewati berbagai rintangan hidup sebagai penjahit pakaian.
Dalam keadaan mengayuh itu Dimas melamunkan hari-hari dulu bersama ibunya. Dimas masih kelas lima SD saat dia secara tidak sengaja membakar kain gorden jendela rumahnya hingga hangus. Dia bermain-main dengan korek api dan melempar-lemparkannya ke sembarang arah. Sulutan apinya mencapai kain gorden, apinya tidak sempat padam hingga mengoyak habis kain itu. Berhari-hari rumahnya tidak bergorden, ibunya tidak punya uang untuk membeli kain gorden baru. Terpaksa ibunya mengumpulkan kain-kain bekas berwarna kuning di dalam lemari dan menyulamnya dengan benang-benang berwarna perak. Sulaman itu hingga kini masih dijadikan gorden. Kain itu menjadi pengingat kecerobohannya di masa lalu. Setiap kali dia melihat kain itu, setiap kali pula dirinya merasa bersalah.
Tiba-tiba, lamunannya terpecahkan oleh sesosok laki-laki tua dihadapannya yang tengah mengoreh-ngoreh bak sampah. Dimas perhatikan pakaiannya cukup bersih, jelas dia bukan gembel atau tukang sampah. Rupanya dia kelaparan. Di sekitarnya, tidak ada satu pun orang yang memerhatikan laki-laki tua itu, atau mungkin pura-pura tidak tahu. Mobil-mobil yang melintasi jalan itu tetap melaju, tidak ada yang mau repot-repot berhenti dan memberikan makanan.
Lelaki itu terus mengoreh seperti hewan liar. Dimas memerhatikan raut wajahnya yang tiba-tiba girang saat menemukan sebuah bungkusan nasi bekas, seolah-olah dia baru saja menemukan sebuah harta karun yang terpendam. Cepat-cepat dia buka bungkusan itu, di sana terdapat sisa nasi dan serabut-serabut daging pada tulang ayam. Ia raup nasi itu dengan kalap, kemudian dimasukannya ke dalam mulut. Belum lagi kunyahan itu sampai di kerongkongannya, ia isi kembali mulutnya dengan raupan nasi berikutnya. Lalu, ia gigiti tulang-tulang ayam itu bagaikan kucing kelaparan.
Dimas menengok ke dalam saku seragam sekolahnya, hanya ada uang tiga ratus rupiah di sana. Di tasnya masih ada uang cadangannya seribu rupiah yang dia kumpulkan berhari-hari. Dia rogoh semua uang itu dan langsung turun dari sepedanya untuk menghampiri si bapak tua. Dimas buang bungkusan nasi yang dia pegang, lalu dia berikan uang dalam genggamannya pada laki-laki itu seperti sedang melakukan salam persahabatan. Dimas hanya bisa berucap, “Beli nasi yang baru, Pak.” Kemudian berlalu pergi.
Si laki-laki tua hanya bisa terbengong-bengong, tidak bisa berucap apapun, entah karena bisu, entah kaget, atau karena begitu banyak nasi yang belum dia telan tertahan di mulutnya.
Dimas kembali menaiki sepedanya dan mengayuh.
Dimas hanya dapat berpikir dalam diam tentang apa yang baru saja dilihatnya. Ada sebuah rasa syukur yang menyelinap ke dalam dadanya seperti hembusan angin sejuk, syukur pada Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki, Dia masih mencukupinya. Terima kasih yang tiada tara, ya Allah, atas semua limpahan rejeki-Mu pada keluarga kami…Terima kasih.
Semangat mengayuhnya semakin tinggi, semua fokus berubah pada sosok satu itu. Dimas ingin benar mengalahkan semua kendaraan bermobil yang menyusulnya. Kayuh, kayuh, dan kayuh lagi.
Dalam keadaan gegap gempita itu, tiba-tiba dari arah kanannya melaju sebuah truk kelapa sawit melaju gila dengan asap hitam mengepul-ngepul keluar dari knalpotnya. Truk itu hampir saja menyerempet Dimas, namun asapnya sungguh teramat hitam hingga mengenai wajahnya. Benar-benar membutakan penglihatan. Dia tidak bisa melihat jelas ke arah jalan, wajahnya terasa panas dan matanya perih tak terampuni.
Dimas mulai limbung, dia tidak tahu harus mengarahkan sepedanya ke mana. Sulit mengentikan sepedanya pada saat itu, banyak di antara kendaraan di sekelilingnya terkena hembusan asap hitam yang sama. TIba-tiba bannya terasa anjlok. Sepeda itu rupanya melewati sebuah kubangan jalan yang rusak dengan kerikil di sekelilingnya. Dimas mulai tidak seimbang, matanya masih terasa sangat perih. Dan, bruk! Dimas bersama sepedanya terjatuh. Kejadian yang cepat itu membuat Dimas kaget bukan kepalang. Dia terbujur menyamping, dan terus dalam posisi itu selama beberapa saat.
Dimas mulai memfokuskan penglihatannya, samar-samar dia bisa melihat orang-orang memerhatikannya dengan cemas. Ya, hanya memerhatikan. Matanya masih terasa panas. Beberapa detik kemudian, sakit mulai terasa menjalari tubuhnya. Bahu kirinya sakit, sungguh sakit, matanya perih, kulit lutut kirinya terkelupas. Matanya berkaca-kaca menahan sakit yang luar biasa ini.
Entah dari arah mana, tiba-tiba seorang ibu berkulit gelap menghampirinya, mengangkat Dimas beserta sepedanya. Diarahkannya dia ke pinggir jalan yang bertanah merah. Motor dan mobil yang sedang melintasinya sekarang kembali melaju setelah beberapa saat hanya tergagap-gagap melihat kejadian ini.
“Hati-hati, Nak,” kata si ibu sambil menepuk-nepuk lembut lengan baju Dimas yang terkena noda tanah dan kerikil. “Hati-hati, hati-hati,” kata si ibu terus menerus.
Setelah mengatakan ini, dia berlalu begitu saja. Dimas yang sedang kebingungan tak sempat mengatakan terima kasihnya. Dirinya baru menyadari jika si ibu berkulit hitam itu adalah seorang petani yang baru saja menanam padinya di sawah yang terhampar di samping jalan. Ia tidak beralas kaki, pakaiannya terdapat banyak noda lumpur, dan kepalanya diikat oleh selendang batik usang yang kotor.
Kemudian, Dimas perhatikan sepeda kesayangannya yang bernasib naas. Pedalnya patah. Dia angkat sepedanya, kemudian menuntunnya berjalan pulang. Panas yang menikam kepala tidak lagi terasa. Di langit, sudah bergumpal-gumpal awan cumulus menutupi sang raja siang. Rasa lelah dan perih di sekujur tubuhnya tak lagi ia rasakan. Dirinya hanya ingin pulang, dan bertemu sang bunda.
Setelah satu kilometer ia memapah sepedanya, akhirnya Dimas dapat melihat pagar rumahnya yang terbuat dari bambu bercat hitam. Di sana, di balik jendela yang bergoden kuning, ia melihat ibunya sedang menjahit. Ibu, Dimas pulang.