Selasa, 21 Agustus 2012

Libur Kecil Kaum Kusam

Oleh: Sally Rosalina

Rohmat sedang menikmati asap tembakaunya di bangku teras sebuah rumah kontrakan. Sore itu, Rohmat baru saja pulang dari sebuah pabrik sepatu tempat dia bekerja sebagai buruh. Sebenarnya, hari ini sangat sialan bagi Rohmat, mandor di pabriknya memaki Rohmat karena sebuah kesalahan. Mandornya adalah seorang wanita pemarah yang bengis. Wanita itu sering memakinya dan kawan-kawannya dengan perkataan yang tak pantas diucapkan oleh perempuan mana pun, atau mandor mana pun, sekali pun mandor lelaki. Tadi siang, Rohmat menghajarnya dengan sebuah nasihat bijak, “Enggak boleh begitu, Ibu seorang pimpinan yang sopan dan jadi panutan serta bisa jadi suri tauladan. Kalau memang anak buah Ibu bersalah panggil secara baik-baik, tegur dengan bahasa yang sopan dan santun, kalau cara Ibu begitu, Ibu bisa diapa-apain, bahkan bisa dibunuh.”

Si ibu mandor tentu murka bukan kepalang. Dia semakin memaki Rohmat, mengutuk-ngutukinya dengan kalimat-kalimat kotor. Rohmat yang sudah lelah sekali hari itu hampir gelap mata dan memukulnya, tetapi atas nasihat kawan-kawannya, Rohmat bisa menahan kegilaannya. Setelah kejadian itu usai, Rohmat tahu esok atau lusa dia akan mendapat ganjaran setimpal atas perbuatan pada mandornya tersebut.

Rohmat pulang dengan langkah gontai bak tentara kalah perang, dengus napasnya seperti suara kereta. Gajinya sebulan di pabrik itu tidak berimbang dengan segala deritanya hari ini, kemarin, atau esok hari.

Tiba-tiba, langkahnya itu menjadi tergesa saat dia teringat akan sebuah janji pada istrinya yang kini sedang hamil tua. Ia tahu istrinya sedang menunggu dengan setia di rumah.

Sebulan lalu, Rohmat berjanji untuk mengajaknya berkencan ke sebuah pasar malam di pinggir kota. Di sana, mereka akan melihat-lihat barang murah (kalau beruntung mereka akan membelinya), atau menikmati taman bermain dengan menaiki sebuah kincir ria yang berputar tidak terlalu tinggi. Tentu saja, gaji Rohmat yang hanya cukup untuk kakus itu tak membiarkan dirinya menyerah dalam mencicipi secuil gaya hidup orang gedean. Soal rekreasi: harus!

Di teras itu, Rohmat kini menunggu istrinya berdandan.

“Setelah dari pasar malam, kita akan ke mana, Bang?” tanya istrinya dari dalam rumah.

“Kita lihat nanti saja,” kata Rohmat.

“Bagaimana jika kita mampir dulu di warung soto Pak Dulah?”

“Pak Dulah yang berjualan di seberang bengkel itu?”

“Ya, seminggu lalu dia membuka warung soto di situ. Para tetangga bercerita sotonya enak dan gurih.”

“Baiklah, kalau sempat kita ke sana.”

Kemudian, Rohmat mematikan tembakaunya. Ia membantu istrinya menutup jendela dan mengunci pintu.

Cahaya mentari sedang menyambut senja. Angin yang berasal dari hiruk pikuk kota berhembus hangat, tidak sejuk. Namun, Rohmat dan istrinya menyambut petang ini dengan senang, seolah-olah tak ada lagi sore seperti sore ini. Ia lupa akan penderitaan tadi siang.

Dari gang tempat rumah kontrakan, mereka berdua berjalan menuju sebuah halte. Istrinya meraih tangan Rohmat, menggenggamnya. Rohmat balik menggenggamnya, lebih erat. Mereka tak berkata suatu apa pun selama perjalanan itu, hanya sesekali menjawab sapaan para tetangga yang mereka lalui.

Setelah menunggu hampir lima belas menit, bus kota pun tiba. Bus itu penuh sesak dengan penumpang yang baru pulang dari tempat kerja atau sekolah, atau mana pun, yang jelas kebanyakan dari mereka sedang menuju pulang. Ketika memasukinya, bus kota sore seperti sebuah rimba dipenuhi manusia-manusia letih yang mudah tersulut amarahnya. Masing-masing dari penumpang membawa persoalan hidupnya hari itu. Beruntung, seorang bapak tua yang tak tega melihat keadaan istri Rohmat segera mempersilakan untuk menduduki kursi yang tadi ditempatinya.

“Terima kasih, Pak,” kata Rohmat dan istrinya kepada si bapak tua, hampir berbarengan.

Istrinya duduk, sedangkan Rohmat berdiri di sampingnya, menjaganya dari keganasan penumpang bus.

“Kau tak apa-apa, ‘kan?” tanya Rohmat pada istrinya.

“Tidak apa-apa, Bang. Cuma dandananku ini jadi luntur, panas.” Istri Rohmat mengibas-ngibaskan tangan ke arah wajahnya.

Rohmat tersenyum lebar. Dia bisa melihat wajah istrinya itu sedikit belang-belang, bedak tabur yang dipakainya terhapus oleh bekas-bekas keringat yang berucucuran dari pelipisnya. Dalam hati kecilnya tak tega dia melihat itu. Suatu saat, dia harus mampu membeli sebuah motor agar tidak lagi bersaing dengan para penumpang bus ini. Motor bebek bekas pun sudah lebih dari lumayan, pikirnya.

Setengah jam berlalu di dalam bus. Rohmat dapat melihat dari kejauhan pasar malam itu. Tidak seperti namanya, pasar malam di pinggir kota ini tidak dibuka pada malam hari, tetapi sejak siang hari. Jalan menuju arah pasar begitu padat dan macet. Namun, Rohmat dan istrinya dengan sabar menunggu bus tiba di dekat gerbang pasar.

Saat bus sudah mulai mendekati pasar dan berhenti, mereka pun turun. Mereka memasuki gerbang pasar bersama ratusan pengunjung lainnya.

Pasar itu luas, sehingga mereka tak perlu lagi berdesakan seperti di dalam bus tadi. Mereka berjalan melewati banyak penjual barang dan makanan. Ada penjual sepatu, mainan, pakaian, panci, dan aneka perhiasan. Mereka melihat-lihat barang-barang murah yang tentu sangat mereka butuhkan untuk melengkapi kebutuhan rumah mereka yang mungil itu.

Setelah membeli beberapa barang termurah yang bisa mereka dapatkan, istri Rohmat mengajaknya untuk menaiki kincir ria yang sudah menjadi daya tarik andalan para pengunjung. Mereka menaiki wahana tersebut seperti masih kanak-kanak, derai tawa dan keriangan mengiringi ketika memasukinya.

“Kau senang?” tanya Rohmat.

“Ya, senang, senang sekali, Bang. Mau mencicipi manisan ini?” Istri Rohmat menawarkan arum manis yang baru dibelinya sebelum mengantri tiket. Rohmat mengambilnya sejumput, kemudian melahap manisan itu.

Rasa manisan yang meleleh di lidahnya, tawa istrinya, warna-warni kincir ria, dan lampu-lampu yang bergemerlapan di bawah sana mengobati rasa luka dan tangis tadi siang, walau untuk sementara. Pergilah derita hari ini, harapnya.

Tak terasa waktu berjalan, istri Rohmat mulai kelelahan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk segera pulang. Mereka kembali menunggu bus dan menaikinya. Kali ini, bus sudah tidak terlalu penuh dengan penumpang. Mereka berdua bisa duduk berdampingan.

“Mudah-mudahan kita bisa kemari lagi, ya, Bang?” kata istri Rohmat.

“Ya, kalau kau sudah melahirkan, dan kalau anak kita cukup besar, kita akan kemari lagi.”

Pasar malam itu semakin menjauh. Lampu-lampunya semakin bergemerlapan di malam hari. Mereka cukup lelah sehingga lupa mendatangi warung soto yang sudah direncanakan.

Akhirnya, Rohmat dan istrinya tiba di depan gang rumah kontrakan mereka. Saat tiba, mereka membuka pintu dan menyalakan lampunya.

Hari ini bagaikan sang raja. Dan, Rohmat tak pernah tahu bahwa esok adalah hari ketika dia akan ditahan polisi karena sudah menegur mandornya tadi siang.* (Based on True Story)

Rabu, 15 Agustus 2012

Aira Di Tepi Danau Bled

Oleh: Sally Rosalina

Aira dan Cipto tengah duduk di teras Kastil Bled, kastil tertinggi di Slovenia. Letaknya di atas sebuah tebing setinggi seratus tiga puluh meter di atas permukaan Danau Bled. Mereka menikmati teh panas dan kental yang disajikan dengan teko elegan berporselen putih.

“Sampai kapan konferensinya, Mas?” tanya Aira.

“Bukankan sudah kukatakan padamu konferensinya berakhir tiga hari lagi?”

“Benarkah?”

“Ya, kemarin sore, saat di hotel, kamu menanyakannya.”

“Belum, aku belum bertanya itu.”

“Ah, kamu jadi pelupa.”

“Kamu tidak suka, ya, kalau aku jadi pelupa begini? Maaf…”

“Bukan begitu, Aira. Aku tetap suka padamu, tentu saja. Hanya aku jadi khawatir.”

“Khawatir kenapa?”

“Khawatir saat kamu menjadi nenek-nenek, kamu sama sekali lupa padaku.”

Aira tertawa.

“Ah, Mas Cipto mengejek.”

Mereka berdua menatap ke arah danau, lalu Aira menuangkan secangkir lagi teh untuk Cipto, dan memasukkan satu kubus gula ke dalamnya.

Aira menyesap teh miliknya dan memejamkan matanya. Lalu, ia mulai bernyanyi-nyanyi lirih: I miss the warm, and I miss the sun, I miss the ocean, I miss everyone, I miss the bridges that span across the bay.


“Tahukah kamu, Mas Cipto darling, aku lebih suka berada di Italia? Udara di sana lebih hangat. Aku juga sangat ingin pergi ke pantai yang banyak tumbuh pohon kelapanya. Memandang birunya laut, menyaksikan bunga-bunga karang di dalamnya, merasakan pasir yang menusuk-nusuk lembut telapak kakiku.”

“Maaf, pergi ke mana? Aku tidak dengar jelas tadi.”

“Ah, kamu tidak mendengarkan ya, Mas? Aku tadi sedang mengoceh. Lupakan, sekarang dengarkan saja nyanyianku: I miss the warm, and I miss the sun, I miss the ocean, I miss everyone, I miss the bridges that span across the bay…

“Aira…”

“Ya, Mas.”

“Aku sangat kangen Indonesia, terutama kampung embahku di Jawa sana.”

“Pakem?”

“Ya, di Pakem sana. Kalau Maghrib tiba, suara adzan akan bersahutan dari satu kampung ke kampung lainnya. Aku juga bisa mendengar jangkrik-jangkrik mengerik, bernyanyian di sawah yang terhampar luas di belakang rumah embah. Lalu, aku bersama sepupu-sepupuku mengaji hingga datang waktu Isya’.”

Aira mendengarkan kata-kata suaminya itu. Lalu, mereka terisap dalam kebisuan selama beberapa waktu. Keduanya kini tengah memandang angkuhnya Pegunungan Alpen dari kejauhan. Permukaan Danau Bled di bawah kastil berkilauan dengan buih-buih ombak disapu angin senja.

“Kalau aku, Mas.. aku kangen dengan tukang mie ayam yang tiap pagi lewat di depan rumah. Sudah lama sekali aku tidak makan mie ayam. Aku juga kangen makan buah arum manis yang biasanya kupetik langsung dari pohon milik Pak Abul, tetanggaku yang tua dan cerewet.”

“Kamu sedang lapar, ya?”

Aira tertawa.

“Ya, aku saaangat lapar. Terkadang aku bisa sangat kelaparan di tanah Eropa ini. Makanannya tidak enak, tidak cocok dengan lidahku.”

“Kamu sudah mengatakan hal itu berkali-kali, Aira.”

“Benarkah?”

“Ya, sudah sangat sering, kukira.”

“Apa Mas Cipto bosan mendengarnya? Jangan bosan, ya, dengan ocehan-ocehanku ini? Di Eropa ini hanya kamu, Mas, yang benar-benar aku kenal. Aku tidak tahu lagi harus mengoceh pada siapa. Aku mohon, jangan bosan, ya, Mas?”

“Tentu saja tidak, Aira. Ricauanmu itulah yang selalu membuatku selalu merasa berada di rumah, merasa pulang. Sekarang, bernyanyilah lagi untukku.”

Aira mulai bernyanyi lagi. I miss the warm, and I miss the sun, I miss the ocean, I miss everyone, I miss the bridges that span across the bay, tonight it seems like ages ago.

Aira tersenyum pada Cipto sambil membelai punggung tangan suaminya itu.

“Terima kasih, Mas,” kata Aira.

Cipto membalas ucapan Aira dengan sebuah anggukan hikmat. Lalu, mereka kembali menyesap teh yang hampir menjadi dingin itu.

“Kita selalu menjadi sentimental kalau ingat kampung. Dan aku ini, Aira, aku ini anak kampung yang sentimental. Benar apa kata-kata dalam senandungmu itu. Aku juga kangen matahari dan birunya langit. Di sini, langit selalu nampak abu-abu.”

Tiba-tiba, Aira beranjak dari kursinya dan menarik tangan Cipto.

“Kita mau ke mana?”

“Ke pinggir danau.”

Keduanya menuruni kastil, menuju tepi Danau Bled. Saat dalam perjalanan itu, seorang turis yang tampak sedang mabuk menabrak bahu Cipto.

“Hey, watch out, Thai!” bentak laki-laki itu.

Matanya sangat merah, seperti api. Wajahnya gemuk kemerah-merahan. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang menyengat.

“I… I do apologize, Sir,” kata Cipto penuh sopan santun. “I didn’t do it in purpose.”

“Yeah. Screw you, monkey!”

“Hey, watch your mouth, Sir,” kata Aira. “You were the one who hit the man. YOU must apologize to him.”

“Oh yeah? I will never beg for sorry to y’ all, monkeys!”

“Ayo, Mas, kita pergi dari sini,” ajak Aira.

“Kasar sekali dia.”

“Pemabuk memang selalu kasar.”

Mereka berdua segera meninggalkan laki-laki gemuk yang masih tetap menggerutu itu.

Akhirnya, Aira dan Cipto tiba di tepi Danau Bled. Mereka duduk di sebuah bangku bercat putih. Angin yang berhembus di sekitar danau cukup menusuk wajah keduanya. Mereka memandangi danau yang terbentang di depan, biru seperti permata safir.

“Seandainya, di saat-saat seperti ini, aku masih bisa mendengar nyanyian jangkrik-jangkrik sawah itu, pasti akan jauh lebih indah, Aira.”

Aira menyandarkan kepalanya di bahu Cipto. “Kita akan segera pulang, Mas.”

Mereka menyaksikan keindahan itu dalam diam hingga terbenamnya matahari di Danau Bled.***

Bandung, 25 DESEMBER 2010

Sabtu, 22 Oktober 2011

Aira dalam Perjalanan Pagi

Oleh: Sally Rosalina

Selama perjalanan naik delman, Aira dan Dian hanya membisu. Yang terdengar kini hanyalah suara derap kaki kuda dan gemeretaknya roda menggerus jalan. Aira menengadahkan kepalanya ke langit, cuaca pagi itu begitu mendung, mungkin akan turun hujan. Mereka melewati jalan-jalan sepi di sebuah pedesaan asri di daerah Lembang. Aira hari ini memasuki tahun ajaran baru sekolahnya membawa sebuah tas gendong, sedangkan Dian membawa sebuah bunga anggrek kecil. Mereka menikmati perjalanan sambil menyaksikan pemandangan berupa kebun-kebun sayur dan istal-istal kuda. Pemandangan yang sudah tidak aneh lagi, tetapi masih tetap sedap dipandang.

“Tentara-tentara itu rupanya tidak punya otak,” Dian memecah kesunyian. “Tentara seharusnya tidak dilatih ototnya saja, tapi juga isi kepalanya.”

“Aku tidak benar-benar percaya semua tentara sebodoh itu,” kata Aira. “Perwira-perwira tingkat atas itu, apakah berotak udang juga?”

“Ah, tidak peduli perwira, bintara atau tamtama, mereka semua tetaplah tentara. Tidak ada isi di balik topi baja itu.”

“Ya, aku tahu maksudmu. Rusdi tidak akan tewas tertembak kalau mereka benar-benar pintar. Begitu, ‘kan?”

“Rusdi tewas karena dia memang benar-benar di tengah medan tempur. Apalagi dia hanyalah seorang dokter. Serdadu-serdadu yang menembak Rusdi bukan serdadu Indonesia, entah serdadu dari pihak Libanon atau Israel. Tampaknya mereka sudah tidak waras.”

Dua hari lalu, seorang tetangga mereka bernama Rusdi tewas dalam pertempuran di perbatasan Libanon dan Israel. Rusdi turut serta dalam tim tentara penjaga perdamaian. Berita ini telah menggegerkan seisi kampung. Setiap orang tidak percaya dengan apa yang terjadi dengan anak kampung yang telah sukses menjadi dokter itu.

“Ingat, yang menembak Rusdi itu adalah serdadu Israel atau mungkin dari pihak Libanon yang salah sasaran,” kata Aira. “Dalam hal ini kau tidak bisa menyalahkan pihak Indonesia saja. Semua ada risikonya. Kematian adalah risiko terburuk bagi setiap orang yang memasuki arena perang.”

“Tapi, seharusnya Rusdi bisa dilindungi secara penuh oleh tentara-tentara kita, apalagi dia warga sipil, bukan militer. Tanya saja Pak Kusir kita, pasti dia setuju, bukan begitu, Pak Kusir?”

Pak Kusir tertawa. “Iya, Neng. Abdi mah tidak mengerti, abdi cuma berharap berdamai saja.”
“Iya, Pak, kami semua berharap bergitu.” kata Aira. “Oh iya, Pak, turunkan kami di terminal, dekat pasar sayur.”

“Baik, Neng.”

Kini, delman melalui pemandangan yang berbeda, asrama-asrama militer yang sangat rapi berjajar di sepanjang sisi jalan. Di belakangnya masih terbentang kebun-kebun sayur dan istal-istal kuda.

“Seorang guruku pernah berkata, serdadu itu seperti peluru. Kalau kau tekan picu, dia akan melesat tak ragu. Serdadu itu seperti belati, kalau tidak dirawat, maka dia akan tumpul dan berkarat.”

“Makanya, pakai hati, bukan pakai belati.”

Aira hanya tersenyum mendengar pernyataan sahabatnya itu.

“Serdadu Indonesia mungkin tidak sebedebah serdadu Israel,” kata Aira. “Mereka hanyalah robot yang dirancang menyerupai manusia.”

“Manusia terbengis lebih tepatnya.”

Aira dan Dian terdiam beberapa lama, mereka berdua tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Derap kaki kuda semakin terdengar.

“Ngomong-ngomong, untuk apa kau membawa anggrek?” tanya Aira.

“Untuk hadiah ulang tahun.”

“Siapa yang berulang tahun?”

“Kakekku. Aku sengaja membelinya kemarin dari tempat pembibitan anggrek dekat rumahku.”

“Anggrek apa yang kau beli itu?”

“Ini namanya anggrek bulan. Indah bukan?”

“Indah, indah sekali. Mengapa kau tidak membeli anggrek yang sudah dewasa saja?”

“Dulu, kakekku senang menanam anggrek. Kupilih yang kecil agar dia mempunyai sesuatu untuk dikerjakan. Aku tidak suka kalau tidak hanya duduk-duduk di kursi. Rasanya seperti sedang menunggu kematiannya. Aku yakin dia tidak akan gagal menumbuhkan anggrek ini hingga dewasa.”

Delman itu tiba-tiba berhenti. Di muka sudah ada seorang tentara Angkatan Darat sedang mengongkang senjata, berbaju kemeja dinas, dan bersepatu lars. Dia melarang delman itu untuk terus melaju.

Aira baru menyadari bahwa delman sedang melewati sebuah lapangan yang sangat luas. Gadis itu ingat bahwa ini adalah hari senin. Pastilah tentara-tentara itu sedang melaksanakan upacara bendera. Di sana, dia menyaksikan banyak tentara berpakaian dinas lengkap berbaris rapi di setiap penjuru lapangan. Aira dapat mendengar sebuah aba-aba nyaring keluar dari mulut salah seorang diantara mereka.

“Kepada Sang Saka Merah Putih, HORMAAAAAAT GRAK!!”

Aira, Dian, dan Pak Kusir yang masih berada di atas delman dipaksa turun oleh tentara tadi. Ketiganya bingung dengan semua kejadian yang tiba-tiba ini.

“AYO, semuanya hormat!!” Perintah si tentara. “Jangan melamun saja HEH!!!”

Aira merasa sedikit geli dengan situasi ini. Dia dapat melihat Pak Kusir yang berdiri sampingnya begitu rikuh dalam mengormat, telapak tangannya hampir menutup mata kanannya. Di depannya, Dian dengan tidak sadar menghormat sambil membawa-bawa bunga anggreknya.

Mengapa tidak sekalian saja si kuda ikut menghormat? Tanya Aira dalam hati.

Di tengah kekhidmatan itu, hujan mulai turun. Langit semakin kelabu. Dengan diiringi Indonesia Raya, Sang Saka perlahan-lahan naik, namun tidak berkibar. Aira diam-diam melirik Dian. Sahabatnya itu kini sedang menangis, tidak sanggup melihat anggrek kecilnya rusak oleh derasnya hujan. Mereka semua basah kuyup.

Minggu, 28 November 2010

Dimas dan Sepeda Tua

Siang, saat mentari timpa kepala, Dimas menuju pulang. Di atas sepeda jaman Jepang itu ia mengayuh sepedanya, melintasi jalan-jalan kabupaten yang kiri dan kanannya terbentang pesawahan yang sudah menguning. Dimas tak sabar memberitahu sang bunda bahwa ia mendapat peringkat nilai rapor tertinggi di kelasnya.

Kayuh, kayuh, dan kayuh, Dimas melaju sekencang-kencangnya bagai seorang tukang becak yang tak sabar mendapat bayaran tertinggi di dunia. Ia hisap semua udara ke dalam rongga dadanya, termasuk asap hitam yang keluar dari mobil-mobil yang berkelebatan angkuh, melesat jauh melampaui sepeda tuanya.

Seragam putih SMPnya mulai usang dan menguning, lembab oleh peluh. Ia jilati bibirnya yang sudah begitu kering dan pahit. Dahaga yang tak tertahankan hampir menggoyahkan semangat Dimas untuk mengayuh sepedanya. Semua hal remeh temeh itu tak jadi soal, di depannya hanya ada sosok ibu. Ibu dengan pancaran senyum di wajahnya, bangga dengan kepandaian Dimas, sang putra sulung, biji matanya.
Ibu, Ibuku sayang. Dimas akan persembahkan nilai ini untuk Ibu.
Sudah satu kilometer perjalanan yang Dimas tempuh. Masih ada dua kilometer lagi mencapai pagar rumah. Dimas merasa jarak yang pendek ini bukanlah apa-apa dibandingkan dengan ribuan kilometer yang sudah ibunya tempuh demi masa depannya dan adik-adiknya. Dan, hingga kini, ibunya masih saja terus berjalan melewati berbagai rintangan hidup sebagai penjahit pakaian.
Dalam keadaan mengayuh itu Dimas melamunkan hari-hari dulu bersama ibunya. Dimas masih kelas lima SD saat dia secara tidak sengaja membakar kain gorden jendela rumahnya hingga hangus. Dia bermain-main dengan korek api dan melempar-lemparkannya ke sembarang arah. Sulutan apinya mencapai kain gorden, apinya tidak sempat padam hingga mengoyak habis kain itu. Berhari-hari rumahnya tidak bergorden, ibunya tidak punya uang untuk membeli kain gorden baru. Terpaksa ibunya mengumpulkan kain-kain bekas berwarna kuning di dalam lemari dan menyulamnya dengan benang-benang berwarna perak. Sulaman itu hingga kini masih dijadikan gorden. Kain itu menjadi pengingat kecerobohannya di masa lalu. Setiap kali dia melihat kain itu, setiap kali pula dirinya merasa bersalah.
Tiba-tiba, lamunannya terpecahkan oleh sesosok laki-laki tua dihadapannya yang tengah mengoreh-ngoreh bak sampah. Dimas perhatikan pakaiannya cukup bersih, jelas dia bukan gembel atau tukang sampah. Rupanya dia kelaparan. Di sekitarnya, tidak ada satu pun orang yang memerhatikan laki-laki tua itu, atau mungkin pura-pura tidak tahu. Mobil-mobil yang melintasi jalan itu tetap melaju, tidak ada yang mau repot-repot berhenti dan memberikan makanan.
Lelaki itu terus mengoreh seperti hewan liar. Dimas memerhatikan raut wajahnya yang tiba-tiba girang saat menemukan sebuah bungkusan nasi bekas, seolah-olah dia baru saja menemukan sebuah harta karun yang terpendam. Cepat-cepat dia buka bungkusan itu, di sana terdapat sisa nasi dan serabut-serabut daging pada tulang ayam. Ia raup nasi itu dengan kalap, kemudian dimasukannya ke dalam mulut. Belum lagi kunyahan itu sampai di kerongkongannya, ia isi kembali mulutnya dengan raupan nasi berikutnya. Lalu, ia gigiti tulang-tulang ayam itu bagaikan kucing kelaparan.
Dimas menengok ke dalam saku seragam sekolahnya, hanya ada uang tiga ratus rupiah di sana. Di tasnya masih ada uang cadangannya seribu rupiah yang dia kumpulkan berhari-hari. Dia rogoh semua uang itu dan langsung turun dari sepedanya untuk menghampiri si bapak tua. Dimas buang bungkusan nasi yang dia pegang, lalu dia berikan uang dalam genggamannya pada laki-laki itu seperti sedang melakukan salam persahabatan. Dimas hanya bisa berucap, “Beli nasi yang baru, Pak.” Kemudian berlalu pergi.
Si laki-laki tua hanya bisa terbengong-bengong, tidak bisa berucap apapun, entah karena bisu, entah kaget, atau karena begitu banyak nasi yang belum dia telan tertahan di mulutnya.
Dimas kembali menaiki sepedanya dan mengayuh.
Dimas hanya dapat berpikir dalam diam tentang apa yang baru saja dilihatnya. Ada sebuah rasa syukur yang menyelinap ke dalam dadanya seperti hembusan angin sejuk, syukur pada Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki, Dia masih mencukupinya. Terima kasih yang tiada tara, ya Allah, atas semua limpahan rejeki-Mu pada keluarga kami…Terima kasih.
Semangat mengayuhnya semakin tinggi, semua fokus berubah pada sosok satu itu. Dimas ingin benar mengalahkan semua kendaraan bermobil yang menyusulnya. Kayuh, kayuh, dan kayuh lagi.
Dalam keadaan gegap gempita itu, tiba-tiba dari arah kanannya melaju sebuah truk kelapa sawit melaju gila dengan asap hitam mengepul-ngepul keluar dari knalpotnya. Truk itu hampir saja menyerempet Dimas, namun asapnya sungguh teramat hitam hingga mengenai wajahnya. Benar-benar membutakan penglihatan. Dia tidak bisa melihat jelas ke arah jalan, wajahnya terasa panas dan matanya perih tak terampuni.
Dimas mulai limbung, dia tidak tahu harus mengarahkan sepedanya ke mana. Sulit mengentikan sepedanya pada saat itu, banyak di antara kendaraan di sekelilingnya terkena hembusan asap hitam yang sama. TIba-tiba bannya terasa anjlok. Sepeda itu rupanya melewati sebuah kubangan jalan yang rusak dengan kerikil di sekelilingnya. Dimas mulai tidak seimbang, matanya masih terasa sangat perih. Dan, bruk! Dimas bersama sepedanya terjatuh. Kejadian yang cepat itu membuat Dimas kaget bukan kepalang. Dia terbujur menyamping, dan terus dalam posisi itu selama beberapa saat.
Dimas mulai memfokuskan penglihatannya, samar-samar dia bisa melihat orang-orang memerhatikannya dengan cemas. Ya, hanya memerhatikan. Matanya masih terasa panas. Beberapa detik kemudian, sakit mulai terasa menjalari tubuhnya. Bahu kirinya sakit, sungguh sakit, matanya perih, kulit lutut kirinya terkelupas. Matanya berkaca-kaca menahan sakit yang luar biasa ini.
Entah dari arah mana, tiba-tiba seorang ibu berkulit gelap menghampirinya, mengangkat Dimas beserta sepedanya. Diarahkannya dia ke pinggir jalan yang bertanah merah. Motor dan mobil yang sedang melintasinya sekarang kembali melaju setelah beberapa saat hanya tergagap-gagap melihat kejadian ini.
“Hati-hati, Nak,” kata si ibu sambil menepuk-nepuk lembut lengan baju Dimas yang terkena noda tanah dan kerikil. “Hati-hati, hati-hati,” kata si ibu terus menerus.
Setelah mengatakan ini, dia berlalu begitu saja. Dimas yang sedang kebingungan tak sempat mengatakan terima kasihnya. Dirinya baru menyadari jika si ibu berkulit hitam itu adalah seorang petani yang baru saja menanam padinya di sawah yang terhampar di samping jalan. Ia tidak beralas kaki, pakaiannya terdapat banyak noda lumpur, dan kepalanya diikat oleh selendang batik usang yang kotor.
Kemudian, Dimas perhatikan sepeda kesayangannya yang bernasib naas. Pedalnya patah. Dia angkat sepedanya, kemudian menuntunnya berjalan pulang. Panas yang menikam kepala tidak lagi terasa. Di langit, sudah bergumpal-gumpal awan cumulus menutupi sang raja siang. Rasa lelah dan perih di sekujur tubuhnya tak lagi ia rasakan. Dirinya hanya ingin pulang, dan bertemu sang bunda.
Setelah satu kilometer ia memapah sepedanya, akhirnya Dimas dapat melihat pagar rumahnya yang terbuat dari bambu bercat hitam. Di sana, di balik jendela yang bergoden kuning, ia melihat ibunya sedang menjahit. Ibu, Dimas pulang.

Rabu, 27 Oktober 2010

Sekitar Kerbau Kroya dan Kuda Liar (Cerita Untuk Seorang Kawan Office Boy)

Oleh: Sally Rosalina

Saat istirahat siang di kantor, aku melihat Ajat sedang duduk di sebuah sofa butut sambil membaca koran dengan kening yang berkerut-kerut. Hari ini koran-koran sedang mengangkat berita tentang pemakaman seorang sastrawan dari Jogjakarta, W. S. Rendra. Ajat sejak awal begitu antusias dengan berita tentang mangkatnya sang maestro besar Indonesia itu. Ketika aku duduk di hadapannya, dia langsung melirikku, lalu mengangkat koran, ditunjukkannya headline berita koran itu ke mukaku.

“Lihatlah ini,” katanya. “Orang berduyun-duyun dari seluruh pelosok negeri hanya untuk menyaksikan penguburannya.”

Aku melihat sebentar foto ratusan atau mungkin ribuan manusia mengantarkan jenazah Willy Surendra Rendra.

“Sepertinya mereka pun datang untuk untuk mengucapkan selamat tinggal, dan berdoa,” kataku.

“Dia dulu pahlawanku, Pak.”

“Sekarang?”

“Setengah pahlawan.”

“Setengahnya lagi?”

“Hanya penulis sajak biasa.”

“Kenapa begitu?”

“Beberapa tahun ini sudah tidak terdengar lagi ringkiknya.”

“Ooh.. sudah terlalu tua untuk meringkik barangkali?”

“Atau mungkin sudah terlalu gemuk?”

Aku dan Ajat tertawa. “Mungkin juga.”

“Hush, tidak baik membicarakan orang yang baru saja wafat.”

Ajat menutup koran dan menaruhnya di bawah meja. Dia segera merebahkan punggungnya di sandaran sofa, memanfaatkan sisa waktu istirahat yang sangat singkat ini. Beberapa hari terakhir ini, aku biasa menghabiskan waktu istirahatku berbincang dengannya. Aku kira dia orang paling jujur di kantor ini, walau kejujurannya terkadang kasar, aku tahu itu meluncur langsung dari hatinya.

Kini, dia sedang memejamkan matanya, lalu membukanya kembali.

“Bertahun-tahun lalu, Pak” katanya mulai bercerita. “Aku hanyalah anak gembala dari kampung di pelosok kabupaten Banjaran. Setiap hari, sehabis pulang sekolah, aku bersama kakak-kakakku membantu Abah membajak sawah dan ladang jagung. Lihatlah kulitku, hitam keminyak-minyakan. Berbeda sekali dengan kulit bapak yang kuning pucat seperti jagung muda.”

Aku tersenyum. “Ladang kita berbeda, Ajat. Ladangmu harus tumbuh dan dibajak di bawah terik matahari, kau tidak bisa mematikan matahari di siang hari. Sedangkan ladangku, kau bisa lihat sendiri, di bawah atap gedung ber-AC, bersama orang-orang gila kerja dan bermuka dua. Aku membajak di atas kertas-kertas dan komputer yang kadang-kadang menjadi sialan kalau sedang rusak atau mati listrik. Aku bisa bekerja hingga malam larut. Saat itu, kau pasti sudah berintim-intiman dengan istri dan anak-anakmu.”

“Benar, benar sekali, Pak. Untuk itu aku selalu bersyukur, hidup bisa begitu sederhana dan menyenangkan bila kita sudah kembali ke rumah. Coba Pak, bandingkan dengan aku yang sedang berada di tempat ini sekarang. Di sini aku ditendang ke lubang toilet. Kerjaanku kalau tidak merokok di dapur, mengepel, disuruh-suruh, dan pastinya sedang menggosok kakus. Seperti itu, setiap hari, bertahun-tahun, menyikat lubang yang sama.”

Sejenak kami terdiam. Permasalahan kami sebenarnya memiliki akar yang sama, kami sedang menjadi manusia-manusia tragis, sama-sama menjadi budak. Bedanya hanya tampak dari luar. Ajat kotor dan bau, tapi dia jujur, pekerjaannya tidak menuntutnya untuk menjadi kotor secara mental. Sedangkan aku, berkerah putih, berdasi, bersepatu mengkilat, tapi seringkali aku tidak bisa menjamin integritasku sendiri.

Menghisap sebatang lisong, melihat Indonesia raya,” katanya tiba-tiba. Nampaknya Ajat sedang mengutip sebuah sajak. “Mendengar 130 juta rakyat. Dan di langit, dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka.

“Sajak yang bagus,” kataku.

“Itulah yang dikatakan Rendra, si Kuda Liar. Aku pernah mendengarnya dari guru SMPku di kampung. Kurasa sajak itu sengaja dibuat untukku. Aku benar-benar harus membersihkan kotoran cukong-cukong kotor itu.”

“Ku harap aku bukan salah satu dari cukong-cukong itu.”

“Oh, maaf, Pak. Tentu saja bapak bukan bagian dari mereka. Bapak orang baik.”

“Ah, kau bisa saja, Jat. Tapi aku pun tak mau menjadi bagian yang diberaki.”

Kami tertawa. Ironis.

“Asal kau tahu, Jat, waktu kecil aku pun sering pergi di sawah.”

“Membajak?”

“Bukan, hanya bermain-main. Aku ke sana hanya untuk mendengar kakekku bersenandung Jawa sambil sesekali memecut kerbaunya.”

“Jawa? Bapak dari Jawa?”

“Ya.”

“Bagian mana?”

“Kroya.”

“Kroya? Ah, kebetulan sekali. Lebaran tahun lalu sepupuku baru saja membeli kerbau dari Kroya. Saat ia akan membajak, kerbau itu tak mau melangkah, sepertinya sedang malas. Dia pecut berkali-kali, reaksinya hanya langkah-langkah tak terarah.”

“Lalu?”

“Lalu, selidik punya selidik, saat sepupuku itu membajak, ia memakai perintah dalam bahasa Sunda, senandungnya pun senandung Sunda. Si kerbau Kroya mana mengerti. Sepupuku berhari-hari melatihnya dalam bahasa Sunda, dan si kerbau akhirnya mau membajak dengan benar.”

Aku tertawa mendengarnya.

Tiba-tiba dari arah lantai dua terdengar suara lengkingan seorang perempuan.

“Ajaaat, Ajaaat, ACnya tiba-tiba matiiii. Cepat nyalakaan!”

Kami berpandangan.

“Baiklah, Pak. Suara tanda berakhirnya istirahat nampaknya sudah terdengar.”

Aku tersenyum. Dengan cekatan Ajat pergi dari ruang istirahatnya. Aku sendiri pun kembali membajak, berharap untuk tidak mengotori dan dikotori kantor ini.

Cinta Itu Berawal Dari Sebuah Kamar

Oleh: Sally Rosalina

Manisku, aku akan terus jalan
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru.
(Sebuah Tanya, Soe, 1969)


Jijik, sebuah kata yang selalu kupendam jika aku bertemu atau sedang membayangkan kawan laki-lakiku yang bernama Amat. Dia seusia denganku, kulitnya kuning dan pucat, seolah-olah tidak pernah tersinari matahari, namun jika aku dekati dia, aromanya benar-benar seperti nasi aking yang baru saja dijemur, ditambah dengan bau infeksi dari lubang telinganya yang nampak selalu berair, giginya besar-besar dengan dominasi warna hitam. Dia adalah kawan laki-lakiku yang paling payah rupanya, namun entah karena suatu sebab alamiah yang berasal dari reaksi kimia tubuhku dan tubuhnya, kami merasa benar-benar cocok. Kami berdua adalah pasangan yang cukup manis, seperti Beauty and the Beast (tentu saja, akulah si ‘Beauty’, ha-ha!)

Sore itu, 15 Januari 1998, aku sedang bertengger di sebuah cabang pohon yang basah dan licin karena hujan tadi siang sambil memerhatikan anak-anak ayam peliharaannya yang baru saja menetas beberapa hari yang lalu. Saat itu, Amat yang baru saja membeli satu ons bawang merah dari warung terdekat berteriak padaku dari bawah pohon dengan sebuah suara yang mirip dengan Popeye yang sedang menghisap cerutu, mungkin di alam semesta ini hanya aku yang paling mengerti ucapannya. Kira-kira seperti inilah teriakannya, ”Hey, monyet, turun!”.

Si monyet yang cantik pun turun dengan melompat dari ketinggian satu meter dan mendarat di atas kerikil-kerikil tumpul yang cukup membuat badannya terguling dan lecet-lecet. Benar-benar sepandai monyet!

Tak peduli dengan ketololanku yang kini sedang meringis kesakitan di hadapannya, Amat mengajakku berkunjung ke rumah Pak Hariman, tetangga kami yang wajahnya mirip dengan aktor Toro Margen. Amat berkata jika Pak Hariman baru saja membuka sebuah perpustakaan di sebelah rumahnya yang dulu bekas pekarangan.

Dengan tidak memiliki motivasi positif apapun, aku ikuti saja kemauannya. Sebenarnya hari itu aku sudah begitu malas menghadapi rutinitas sekolah yang setiap hari memaksaku memikul berbagai beban pe-er. Mungkin, itulah yang dirasakan sebagian penduduk bumi yang berusia dua belas tahun dan duduk di bangku SMP. Makanya, jika ada ajakan seajaib apapun yang keluar dari mulut Amat saat itu, aku akan menurutinya, hal ini lebih baik daripada harus melihat proses pengeluaran isi perut anak-anak ayam melalui rektumnya.

Setelah Amat menyerahkan pesanan bawang merah ibunya, dia segera menantangku lomba lari menuju rumah Pak Hariman. Aku terima tantangannya dan kemudian melesat menuju rumah Pak Hariman yang letaknya sekitar sepuluh menit berjalan kaki dan berada di sepanjang jalan menuju kaki bukit. Kami terus berlari, saling menyusul sambil tertawa-tawa yang kami sendiri tidak tahu apa yang sedang kami tertawakan, mungkin hanya sebuah bentuk kebahagiaan murni masa kecil.

Dari kejauhan, rumah Pak Hariman terlihat eksentrik, dengan bentuk rumah sederhana tipe 21 yang semua dindingnya dipulas warna jingga dan pagar besinya diberi warna hijau terang. Setiap orang yang melihatnya akan mengira jika sang empunya rumah pastilah orang yang buta warna.

Ketika tiba di depan rumah Pak Hariman, aku dapat melihat sebuah bangunan mungil, semacam kamar yang seolah-olah terpisah dari bangunan utamanya, luasnya sekitar lima kali enam meter persegi. Amat menunjuk tempat itu dan berseru jika tempat itulah perpustakaannya. Aku merasa kamar itu dibangun dengan asal-asalan dan tergesa-gesa di atas sebuah lahan yang dulunya adalah tempat tumbuh beraneka macam bunga yang berwarna-warni. Bangunan itu muncul seperti seekor buta ijo yang mengacak-acak rumah para dewa di kahayangan. Ini sama sekali bukan perpustakaan! Tempatnya tidak luas, tidak tinggi, dan hanya terbuat dari papan-papan kayu.

Tiba-tiba, dari belakang kami terdengar suara berat yang mengatakan bahwa tempat itu bukanlah perpustakaan. Kami menengok ke belakang dan memang betul, suara berat itu memang milik Toro Margen kita, Pak Hariman; seorang dosen dan ayah dari dua orang anak, dia selalu senang membantu seorang tetangganya yang motornya sering rusak. Saat itu si Toro Margen mengenakan kaus abu-abu loakan yang bertuliskan Freedom Is Never Free, dan dari keeksentrikannya aku yakin jika dia memiliki kecenderungan untuk apolitik, meskipun di pintu rumahnya tertempel miring stiker kuning bergambar pohon yang sering dijadikan rumah para dedemit, penyamaran politik yang cukup canggih!

Sambil memegang bahu Amat, dia menjelaskan jika tempat itu pada dasarnya memang sebuah perpustakaan, namun dia lebih senang menyebutnya dengan taman bacaan, sebuah istilah baru dan aneh bagiku, namun cukup imajinatif, ta-man ba-ca-an! Kemudian, dia mempersilakan kami memasuki taman bacaannya itu.

Ketika memasukinya, aku langsung dapat mencium bau semen basah dan serbuk kayu yang disamarkan oleh pewangi ruangan beraroma jeruk. Mataku berkeliling menyaksikan empat rak buku yang cukup besar bersandar pada masing-masing dinding kayu. Rak-rak itu berisi lusinan, atau mungkin ratusan buku.

Pak Hariman mempersilakan kami untuk membaca buku-buku itu sepuas hati kami. Dan dari sinilah Pak Hariman membuka peluang bisnisnya. Dia menjelaskan jika kami ingin membawa buku-buku itu pulang, maka kami akan dikenakan biaya sesuai tarif. Komik seharga dua ratus rupiah perhari, buku-buku fiksi dan non-fiksi lima ratus perhari, dan majalah lima ratus perhari. Namun Pak Hariman melarang kami membawa pulang buku-buku yang tersimpan di rak paling atas. ”Bahaya”, katanya.

Dengan penuh kepolosan dan rasa ingin tahu yang terlalu besar, Amat bertanya mengapa buku-buku itu bisa berbahaya, seolah-olah buku-buku itu akan akan mengeluarkan taring dan mengigit dirinya. Kemudian Pak Hariman menjawabnya dengan panjang lebar dan membosankan. Aku tidak terlalu tertarik dengan perbincangan itu, yang bisa kutangkap dari Pak Hariman hanya kata-kata seperti polisi, hati-hati, penculikan, bakar, komunis, dan istilah-istilah lain yang tak seharusnya Pak Hariman katakan pada kami yang baru saja mempelajari naskah proklamasi di buku sejarah sekolah.

Tiba-tiba Pak Hariman tertawa setelah melihat kejut ketakutan di wajah Amat. Mungkin Amat sedikit gentar ketika nama ’polisi’ disebut-sebut. Pak Hariman segera menenangkannya dengan mengatakan bahwa dia hanya ingin warga desa kami bisa dan mau mengerti tentang persoalan-persoalan bangsa dan dunia saat ini, dan langkah yang paling efektif adalah melalui buku sebagai jembatan ke tempat yang lebih terang benderang. Itulah tujuan Pak Hariman mendirikan sebuah kamar sempit yang berjejalan buku ini.

Untuk beberapa saat kamar itu menjadi hening. Kulihat mata Pak Hariman terlihat lebih sendu dan menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu yang belum terselesaikan. Lalu, dia menarik napas panjang dan sedikit tersenyum pada kami sambil berkata bahwa dia akan meneruskan pekerjaannya yang tadi sempat terpotong oleh kedatangan kami.

Setelah Pak Hariman keluar dari sana, langsung kudekati rak-rak itu. Aku mencium bau lembab dan kamper, kulihat sebagian kertas dari buku-buku tersebut sudah menguning dan pinggirannya sobek-sobek seperti dimakan usia. Di tengah ruangan yang kosong, telah terhampar karpet tipis murahan berwarna hijau.

Beberapa menit kuamati buku-buku itu dan bertanya-tanya dalam hati apakah Pak Hariman membaca semua buku ini. Ada sebuah perasaan haru dan bangga yang tak dapat kumengerti ketika menyaksikannya. Hebat, rumah Pak Hariman yang sederhana ini ternyata menyimpan kekayaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Kekayaan yang mungkin melebihi kekayaan orang-orang terpandang di desaku yang dengan penuh kenaifan menjual tanah warisan nenek moyangnya kepada para pengusaha real-estate. Kekayaan Pak Hariman yang tak terbeli bulan purnama itu bernama ilmu dan intelektualitas.

Di rak paling bawah, aku melihat lusinan novel yang warna sampulnya menyilaukan mata sekaligus menggoda bagi seorang anak dua belas tahun sepertiku. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta pada sebuah novel, walau sebatas sampulnya saja. Sebelumnya, aku belum pernah sekalipun membaca novel, selama ini aku hanya membaca komik, itu pun hanya yang bergambar robot kucing dari Jepang. Novel yang sampulnya berwarna-warni permen itu berjudul Goosebumps karangan R. L Stine.

Dengan penuh kenekadan, aku pinjam dua buah novel Goosebumps, berikut lima buah komik kucing favoritku. Sementara, Amat tidak meminjam apapun. Aku berhutang dulu saja pada Amat untuk membayar buku-buku yang kupinjam, aku sedang betul-betul bokek. Hari itu aku menjadi tahu jika taman bacaan adalah semacam tempat penyewaan buku.

Pak Hariman segera tiba di kamar itu setelah Amat memanggilnya. Lalu, dia menuliskan namaku, judul buku yang dipinjam, dan tanggal pengembaliannya pada sebuah buku tulis besar bersampul batik.

Ketika kami keluar dari ruang sempit itu, udara tiba-tiba terasa menjadi begitu segar dan hampir mengagetkan kulit wajah dan hidungku. Kombinasi aroma semen basah, serbuk kayu, pewangi jeruk, dan kamper tanpa kusadari telah membuat kepalaku terasa pening. Kuhirup oksigen sekuat-kuatnya sambil melangkah pulang meninggalkan taman bacaan ’buta ijo’ itu.

Malam harinya, dengan rasa penasaran yang menggila, kubaca habis dua novel yang kupinjam itu dalam waktu tak kurang dari tiga jam. Wow! Wow! Eureka! Tak pernah kubayangkan jika membaca buku bisa sangat mengasyikan. Malam semakin larut, dengan penuh kegelisahan dan keterpaksaan, kupejamkan mata sambil tetap membayangkan petualangan ajaib dan menggetarkan yang baru saja kualami di dunia Goosebumps.

Kini, taman bacaan itu telah memiliki nama, Taman Bacaan Matahari. Meskipun begitu, aku dan Amat tetap menamainya dengan Buta Ijo. Pada hari-hari berikutnya, tempat itu menjadi sebuah candu bagiku. Aku memilih kelaparan pada jam istirahat sekolah demi membayar buku-buku yang akan kupinjam dari Pak Hariman. Seringkali aku meminjam buku yang sama lebih dari satu kali dan kubaca berulang-ulang.

Semua seri Goosebumps telah habis kubaca, kemudian aku beralih dengan membaca buku yang pengarangnya adalah orang-orang Indonesia. Pertama kali yang aku baca adalah ’Kejar Daku Kau Kujitak’ dan ’Olga dan Sepatu Roda’ karangan mantan wartawan majalah Hai, Hilman Hariwijaya. Setelah itu, aku lanjutkan dengan membaca karya-karya yang lebih menantang, seperti kumpulan cerita pendek ’Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’ karangan Idrus. Kubaca buku ’Ave Maria’ itu dimana pun aku berada; di tempat tidur, di dapur, di ruang kelas, di angkot, hingga di jongko tukang bakso. Suatu kali si tukang bakso dengan penuh penghayatan mendengarkan lagu ’Jatuh Bangun’ milik Meggy Z dari radio bututnya, sementara aku duduk di jongko itu sambil membaca dampak Perang Dunia II terhadap celana khaki yang dikenakan orang Indonesia selama revolusi dalam ’Ave Maria’, aku masih merasa kejadian itu seperti sebuah keajaiban alam.

Berminggu-minggu kemudian aku terus datangi ’Buta Ijo’ tanpa ditemani oleh Amat. Aku sudah sangat jarang bertemu dengannya, tidak tahu kemana rimbanya bocah jelek itu, nyatanya dia tidak pernah ada di rumah. Hingga, pada suatu subuh di hari Minggu, ada suara laki-laki yang sepertinya menahan isak tangis keluar dari pengeras suara masjid yang memberitahukan jika Amat telah meninggal dunia. Aku tidak ingat apakah saat itu aku merasa sedih atau tidak atas berita kematiannya yang mendadak itu, yang jelas aku tidak menangis. Namun, aku ingat beberapa hari berikutnya aku merasa seperti galon air tanpa isi; kosong, kosong, ... kosong.

Beberapa waktu kemudian aku tahu jika Amat terkena penyakit liver dan sudah dirawat dua minggu di rumah sakit sebelum kematiannya.Bagi sebagian besar orang hari-hari berikutnya terasa sama, namun tidak bagiku. Hingga hampir sepuluh tahun kemudian aku menyadari bahwa Amat adalah kawan laki-lakiku yang paling tampan. Kebaikannya menyamarkan bau badannya, infeksi di telinganya, dan noda-noda hitam di giginya. Dialah orang yang pertama kali mengantarkannku pada dunia yang terang benderang ini.

Aku tahu jika Tuhan menciptakan alam semesta secara sempurna, begitu pun halnya pada nasib manusia. Inilah hal yang kurasakan pada saat itu. Kekosongan ini bertambah sempurna ketika Pak Hariman memberitahuku jika dia beserta keluarganya akan pindah rumah ke Sumedang. Dan, tentu saja hal ini menyadarkanku bahwa nanti tidak akan ada lagi tempat bagiku untuk menghabiskan waktu seusai pulang sekolah, tidak ada lagi tempat untuk berkeliling dunia, tidak ada lagi tempat berfantasi di alam yang penuh keajaiban, tidak ada lagi tempat sempit dengan aroma jeruk dan kamper yang sering memusingkanku. Di saat seperti ini pun aku tidak bisa menangis. Hanya mual, itu saja, sebuah akumulasi kesedihan yang bertumpuk pada tukak lambungku!

Sebelum meninggalkan rumahnya, Pak Hariman memberiku sebuah kenang-kenangan, yaitu sebuah buku kumpulan puisi karangan dirinya dan kawan-kawannya saat dulu dia menjadi seorang aktivis ’74. Kumpulan puisi yang benar-benar indah dan mengugah karena berasal dari orang-orang jujur dan tulus seperti Pak Hariman.

Setelah peristiwa itu, aku mencari cara untuk mengatasi ’candu’ku ini, terpaksa kukunjungi perpustakaan kota yang jaraknya dari rumahku paling tidak seperti dari Bumi ke Mars. Aku semakin keranjingan membaca, seolah-olah dewa kutu buku sedang merasukiku, ada semacam energi baru dalam diriku untuk terus menerus membaca dan belajar menjadi seorang cendikia yang baik seperti Pak Hariman. Kini, tujuanku membaca tak lagi sebatas mengisi waktu luang seusai sekolah atau mencari penghiburan semata. Tujuanku melebihi itu semua, aku mencari ide-ide yang mencerahkan, sebuah inspirasi, kedamaian, rasa kemanusiaan, atau bahkan drama kehidupan.

Semasa SMA, aku mulai menyukai non-fiksi, terutama biografi dan sejarah yang ternyata isinya lebih mencengangkan dari kisah-kisah dalam dunia fiksi. Namun, aku tetap membaca karya-karya sastra, seperti ’Di Bawah Naungan Kabah’ karangan Buya Hamka yang memberiku perspektif lain tentang cinta dan kasih sayang. Lalu, aku mulai suka membaca beberapa karangan dari Umar Kayyam, Mochtar Lubis, dan Pramoedya Ananta Toer, serta karya-karya terjemahan.

Buku telah kian menambah pengetahuanku tentang alam dan manusianya. Ada suatu perasaan menggebu yang timbul untuk memberikan rasa cinta dan sayang pada keduanya. Aku kira perasaan ini jauh lebih manis dan puitis dibandingkan dengan kisah cinta dua insan mana pun di dunia ini. Aku ingin menjadi bagian dari mereka yang telah mengubah perjalanan sejarah dunia dan masyarakatnya menjadi lebih baik, terutama lewat tulisan-tulisannya. Namun, aku merasa masih belum sepenuhnya memiliki jiwa ksatria untuk menghadapi segala konsekuensi yang akan kuhadapi melalui tulisan-tulisanku. Ya, aku akan belajar lagi.

Minggu, 27 Juni 2010

Untuk Dia si Anak Semua Bangsa

Oleh: Sally Rosalina

Dia datang dan berbicara dengan manusia-manusia yang dia cintai;
ibu, bapak, adik, guru, kekasih, kawan, penjual korek api di terminal, tukang cukur, supir truk!
Tentang Aceh, tanah yang kelabu dan tentang mimpi-mimpinya.
Tentang bumi yang semakin tua tempat orang berbicara tentang pertempuran-pertempuran yang tidak bisa mereka menangkan.
“Aku cinta damai,” katanya.
Mungkin, dia sedang bertempur hebat ke dalam dirinya
Atau, kukira dia telah ikut serta
menjadi prajurit tanpa senjata, melainkan penanya yang tajam.
Lihatlah ini: This is the path that I’ve chosen.
Tuhan, semoga ada kawan sejati yang selalu membela dalam pertempurannya itu.


Aku memang iri dengan tugas pribadinya yang menuju keabadian itu.
Tulisannya memang belum sebesar Tolstoy ataupun Pram,
Namun aku iri karena tulisan kecilnya telah menjadi bagian dari rangkaian sejarah dan peristiwa.
Tuhan, bantulah agar tulisan-tulisan itu menjadi ledakan bom di tanah yang laknat ini.