Sabtu, 22 Oktober 2011

Aira dalam Perjalanan Pagi

Oleh: Sally Rosalina

Selama perjalanan naik delman, Aira dan Dian hanya membisu. Yang terdengar kini hanyalah suara derap kaki kuda dan gemeretaknya roda menggerus jalan. Aira menengadahkan kepalanya ke langit, cuaca pagi itu begitu mendung, mungkin akan turun hujan. Mereka melewati jalan-jalan sepi di sebuah pedesaan asri di daerah Lembang. Aira hari ini memasuki tahun ajaran baru sekolahnya membawa sebuah tas gendong, sedangkan Dian membawa sebuah bunga anggrek kecil. Mereka menikmati perjalanan sambil menyaksikan pemandangan berupa kebun-kebun sayur dan istal-istal kuda. Pemandangan yang sudah tidak aneh lagi, tetapi masih tetap sedap dipandang.

“Tentara-tentara itu rupanya tidak punya otak,” Dian memecah kesunyian. “Tentara seharusnya tidak dilatih ototnya saja, tapi juga isi kepalanya.”

“Aku tidak benar-benar percaya semua tentara sebodoh itu,” kata Aira. “Perwira-perwira tingkat atas itu, apakah berotak udang juga?”

“Ah, tidak peduli perwira, bintara atau tamtama, mereka semua tetaplah tentara. Tidak ada isi di balik topi baja itu.”

“Ya, aku tahu maksudmu. Rusdi tidak akan tewas tertembak kalau mereka benar-benar pintar. Begitu, ‘kan?”

“Rusdi tewas karena dia memang benar-benar di tengah medan tempur. Apalagi dia hanyalah seorang dokter. Serdadu-serdadu yang menembak Rusdi bukan serdadu Indonesia, entah serdadu dari pihak Libanon atau Israel. Tampaknya mereka sudah tidak waras.”

Dua hari lalu, seorang tetangga mereka bernama Rusdi tewas dalam pertempuran di perbatasan Libanon dan Israel. Rusdi turut serta dalam tim tentara penjaga perdamaian. Berita ini telah menggegerkan seisi kampung. Setiap orang tidak percaya dengan apa yang terjadi dengan anak kampung yang telah sukses menjadi dokter itu.

“Ingat, yang menembak Rusdi itu adalah serdadu Israel atau mungkin dari pihak Libanon yang salah sasaran,” kata Aira. “Dalam hal ini kau tidak bisa menyalahkan pihak Indonesia saja. Semua ada risikonya. Kematian adalah risiko terburuk bagi setiap orang yang memasuki arena perang.”

“Tapi, seharusnya Rusdi bisa dilindungi secara penuh oleh tentara-tentara kita, apalagi dia warga sipil, bukan militer. Tanya saja Pak Kusir kita, pasti dia setuju, bukan begitu, Pak Kusir?”

Pak Kusir tertawa. “Iya, Neng. Abdi mah tidak mengerti, abdi cuma berharap berdamai saja.”
“Iya, Pak, kami semua berharap bergitu.” kata Aira. “Oh iya, Pak, turunkan kami di terminal, dekat pasar sayur.”

“Baik, Neng.”

Kini, delman melalui pemandangan yang berbeda, asrama-asrama militer yang sangat rapi berjajar di sepanjang sisi jalan. Di belakangnya masih terbentang kebun-kebun sayur dan istal-istal kuda.

“Seorang guruku pernah berkata, serdadu itu seperti peluru. Kalau kau tekan picu, dia akan melesat tak ragu. Serdadu itu seperti belati, kalau tidak dirawat, maka dia akan tumpul dan berkarat.”

“Makanya, pakai hati, bukan pakai belati.”

Aira hanya tersenyum mendengar pernyataan sahabatnya itu.

“Serdadu Indonesia mungkin tidak sebedebah serdadu Israel,” kata Aira. “Mereka hanyalah robot yang dirancang menyerupai manusia.”

“Manusia terbengis lebih tepatnya.”

Aira dan Dian terdiam beberapa lama, mereka berdua tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Derap kaki kuda semakin terdengar.

“Ngomong-ngomong, untuk apa kau membawa anggrek?” tanya Aira.

“Untuk hadiah ulang tahun.”

“Siapa yang berulang tahun?”

“Kakekku. Aku sengaja membelinya kemarin dari tempat pembibitan anggrek dekat rumahku.”

“Anggrek apa yang kau beli itu?”

“Ini namanya anggrek bulan. Indah bukan?”

“Indah, indah sekali. Mengapa kau tidak membeli anggrek yang sudah dewasa saja?”

“Dulu, kakekku senang menanam anggrek. Kupilih yang kecil agar dia mempunyai sesuatu untuk dikerjakan. Aku tidak suka kalau tidak hanya duduk-duduk di kursi. Rasanya seperti sedang menunggu kematiannya. Aku yakin dia tidak akan gagal menumbuhkan anggrek ini hingga dewasa.”

Delman itu tiba-tiba berhenti. Di muka sudah ada seorang tentara Angkatan Darat sedang mengongkang senjata, berbaju kemeja dinas, dan bersepatu lars. Dia melarang delman itu untuk terus melaju.

Aira baru menyadari bahwa delman sedang melewati sebuah lapangan yang sangat luas. Gadis itu ingat bahwa ini adalah hari senin. Pastilah tentara-tentara itu sedang melaksanakan upacara bendera. Di sana, dia menyaksikan banyak tentara berpakaian dinas lengkap berbaris rapi di setiap penjuru lapangan. Aira dapat mendengar sebuah aba-aba nyaring keluar dari mulut salah seorang diantara mereka.

“Kepada Sang Saka Merah Putih, HORMAAAAAAT GRAK!!”

Aira, Dian, dan Pak Kusir yang masih berada di atas delman dipaksa turun oleh tentara tadi. Ketiganya bingung dengan semua kejadian yang tiba-tiba ini.

“AYO, semuanya hormat!!” Perintah si tentara. “Jangan melamun saja HEH!!!”

Aira merasa sedikit geli dengan situasi ini. Dia dapat melihat Pak Kusir yang berdiri sampingnya begitu rikuh dalam mengormat, telapak tangannya hampir menutup mata kanannya. Di depannya, Dian dengan tidak sadar menghormat sambil membawa-bawa bunga anggreknya.

Mengapa tidak sekalian saja si kuda ikut menghormat? Tanya Aira dalam hati.

Di tengah kekhidmatan itu, hujan mulai turun. Langit semakin kelabu. Dengan diiringi Indonesia Raya, Sang Saka perlahan-lahan naik, namun tidak berkibar. Aira diam-diam melirik Dian. Sahabatnya itu kini sedang menangis, tidak sanggup melihat anggrek kecilnya rusak oleh derasnya hujan. Mereka semua basah kuyup.