Minggu, 28 November 2010

Dimas dan Sepeda Tua

Siang, saat mentari timpa kepala, Dimas menuju pulang. Di atas sepeda jaman Jepang itu ia mengayuh sepedanya, melintasi jalan-jalan kabupaten yang kiri dan kanannya terbentang pesawahan yang sudah menguning. Dimas tak sabar memberitahu sang bunda bahwa ia mendapat peringkat nilai rapor tertinggi di kelasnya.

Kayuh, kayuh, dan kayuh, Dimas melaju sekencang-kencangnya bagai seorang tukang becak yang tak sabar mendapat bayaran tertinggi di dunia. Ia hisap semua udara ke dalam rongga dadanya, termasuk asap hitam yang keluar dari mobil-mobil yang berkelebatan angkuh, melesat jauh melampaui sepeda tuanya.

Seragam putih SMPnya mulai usang dan menguning, lembab oleh peluh. Ia jilati bibirnya yang sudah begitu kering dan pahit. Dahaga yang tak tertahankan hampir menggoyahkan semangat Dimas untuk mengayuh sepedanya. Semua hal remeh temeh itu tak jadi soal, di depannya hanya ada sosok ibu. Ibu dengan pancaran senyum di wajahnya, bangga dengan kepandaian Dimas, sang putra sulung, biji matanya.
Ibu, Ibuku sayang. Dimas akan persembahkan nilai ini untuk Ibu.
Sudah satu kilometer perjalanan yang Dimas tempuh. Masih ada dua kilometer lagi mencapai pagar rumah. Dimas merasa jarak yang pendek ini bukanlah apa-apa dibandingkan dengan ribuan kilometer yang sudah ibunya tempuh demi masa depannya dan adik-adiknya. Dan, hingga kini, ibunya masih saja terus berjalan melewati berbagai rintangan hidup sebagai penjahit pakaian.
Dalam keadaan mengayuh itu Dimas melamunkan hari-hari dulu bersama ibunya. Dimas masih kelas lima SD saat dia secara tidak sengaja membakar kain gorden jendela rumahnya hingga hangus. Dia bermain-main dengan korek api dan melempar-lemparkannya ke sembarang arah. Sulutan apinya mencapai kain gorden, apinya tidak sempat padam hingga mengoyak habis kain itu. Berhari-hari rumahnya tidak bergorden, ibunya tidak punya uang untuk membeli kain gorden baru. Terpaksa ibunya mengumpulkan kain-kain bekas berwarna kuning di dalam lemari dan menyulamnya dengan benang-benang berwarna perak. Sulaman itu hingga kini masih dijadikan gorden. Kain itu menjadi pengingat kecerobohannya di masa lalu. Setiap kali dia melihat kain itu, setiap kali pula dirinya merasa bersalah.
Tiba-tiba, lamunannya terpecahkan oleh sesosok laki-laki tua dihadapannya yang tengah mengoreh-ngoreh bak sampah. Dimas perhatikan pakaiannya cukup bersih, jelas dia bukan gembel atau tukang sampah. Rupanya dia kelaparan. Di sekitarnya, tidak ada satu pun orang yang memerhatikan laki-laki tua itu, atau mungkin pura-pura tidak tahu. Mobil-mobil yang melintasi jalan itu tetap melaju, tidak ada yang mau repot-repot berhenti dan memberikan makanan.
Lelaki itu terus mengoreh seperti hewan liar. Dimas memerhatikan raut wajahnya yang tiba-tiba girang saat menemukan sebuah bungkusan nasi bekas, seolah-olah dia baru saja menemukan sebuah harta karun yang terpendam. Cepat-cepat dia buka bungkusan itu, di sana terdapat sisa nasi dan serabut-serabut daging pada tulang ayam. Ia raup nasi itu dengan kalap, kemudian dimasukannya ke dalam mulut. Belum lagi kunyahan itu sampai di kerongkongannya, ia isi kembali mulutnya dengan raupan nasi berikutnya. Lalu, ia gigiti tulang-tulang ayam itu bagaikan kucing kelaparan.
Dimas menengok ke dalam saku seragam sekolahnya, hanya ada uang tiga ratus rupiah di sana. Di tasnya masih ada uang cadangannya seribu rupiah yang dia kumpulkan berhari-hari. Dia rogoh semua uang itu dan langsung turun dari sepedanya untuk menghampiri si bapak tua. Dimas buang bungkusan nasi yang dia pegang, lalu dia berikan uang dalam genggamannya pada laki-laki itu seperti sedang melakukan salam persahabatan. Dimas hanya bisa berucap, “Beli nasi yang baru, Pak.” Kemudian berlalu pergi.
Si laki-laki tua hanya bisa terbengong-bengong, tidak bisa berucap apapun, entah karena bisu, entah kaget, atau karena begitu banyak nasi yang belum dia telan tertahan di mulutnya.
Dimas kembali menaiki sepedanya dan mengayuh.
Dimas hanya dapat berpikir dalam diam tentang apa yang baru saja dilihatnya. Ada sebuah rasa syukur yang menyelinap ke dalam dadanya seperti hembusan angin sejuk, syukur pada Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki, Dia masih mencukupinya. Terima kasih yang tiada tara, ya Allah, atas semua limpahan rejeki-Mu pada keluarga kami…Terima kasih.
Semangat mengayuhnya semakin tinggi, semua fokus berubah pada sosok satu itu. Dimas ingin benar mengalahkan semua kendaraan bermobil yang menyusulnya. Kayuh, kayuh, dan kayuh lagi.
Dalam keadaan gegap gempita itu, tiba-tiba dari arah kanannya melaju sebuah truk kelapa sawit melaju gila dengan asap hitam mengepul-ngepul keluar dari knalpotnya. Truk itu hampir saja menyerempet Dimas, namun asapnya sungguh teramat hitam hingga mengenai wajahnya. Benar-benar membutakan penglihatan. Dia tidak bisa melihat jelas ke arah jalan, wajahnya terasa panas dan matanya perih tak terampuni.
Dimas mulai limbung, dia tidak tahu harus mengarahkan sepedanya ke mana. Sulit mengentikan sepedanya pada saat itu, banyak di antara kendaraan di sekelilingnya terkena hembusan asap hitam yang sama. TIba-tiba bannya terasa anjlok. Sepeda itu rupanya melewati sebuah kubangan jalan yang rusak dengan kerikil di sekelilingnya. Dimas mulai tidak seimbang, matanya masih terasa sangat perih. Dan, bruk! Dimas bersama sepedanya terjatuh. Kejadian yang cepat itu membuat Dimas kaget bukan kepalang. Dia terbujur menyamping, dan terus dalam posisi itu selama beberapa saat.
Dimas mulai memfokuskan penglihatannya, samar-samar dia bisa melihat orang-orang memerhatikannya dengan cemas. Ya, hanya memerhatikan. Matanya masih terasa panas. Beberapa detik kemudian, sakit mulai terasa menjalari tubuhnya. Bahu kirinya sakit, sungguh sakit, matanya perih, kulit lutut kirinya terkelupas. Matanya berkaca-kaca menahan sakit yang luar biasa ini.
Entah dari arah mana, tiba-tiba seorang ibu berkulit gelap menghampirinya, mengangkat Dimas beserta sepedanya. Diarahkannya dia ke pinggir jalan yang bertanah merah. Motor dan mobil yang sedang melintasinya sekarang kembali melaju setelah beberapa saat hanya tergagap-gagap melihat kejadian ini.
“Hati-hati, Nak,” kata si ibu sambil menepuk-nepuk lembut lengan baju Dimas yang terkena noda tanah dan kerikil. “Hati-hati, hati-hati,” kata si ibu terus menerus.
Setelah mengatakan ini, dia berlalu begitu saja. Dimas yang sedang kebingungan tak sempat mengatakan terima kasihnya. Dirinya baru menyadari jika si ibu berkulit hitam itu adalah seorang petani yang baru saja menanam padinya di sawah yang terhampar di samping jalan. Ia tidak beralas kaki, pakaiannya terdapat banyak noda lumpur, dan kepalanya diikat oleh selendang batik usang yang kotor.
Kemudian, Dimas perhatikan sepeda kesayangannya yang bernasib naas. Pedalnya patah. Dia angkat sepedanya, kemudian menuntunnya berjalan pulang. Panas yang menikam kepala tidak lagi terasa. Di langit, sudah bergumpal-gumpal awan cumulus menutupi sang raja siang. Rasa lelah dan perih di sekujur tubuhnya tak lagi ia rasakan. Dirinya hanya ingin pulang, dan bertemu sang bunda.
Setelah satu kilometer ia memapah sepedanya, akhirnya Dimas dapat melihat pagar rumahnya yang terbuat dari bambu bercat hitam. Di sana, di balik jendela yang bergoden kuning, ia melihat ibunya sedang menjahit. Ibu, Dimas pulang.

Rabu, 27 Oktober 2010

Sekitar Kerbau Kroya dan Kuda Liar (Cerita Untuk Seorang Kawan Office Boy)

Oleh: Sally Rosalina

Saat istirahat siang di kantor, aku melihat Ajat sedang duduk di sebuah sofa butut sambil membaca koran dengan kening yang berkerut-kerut. Hari ini koran-koran sedang mengangkat berita tentang pemakaman seorang sastrawan dari Jogjakarta, W. S. Rendra. Ajat sejak awal begitu antusias dengan berita tentang mangkatnya sang maestro besar Indonesia itu. Ketika aku duduk di hadapannya, dia langsung melirikku, lalu mengangkat koran, ditunjukkannya headline berita koran itu ke mukaku.

“Lihatlah ini,” katanya. “Orang berduyun-duyun dari seluruh pelosok negeri hanya untuk menyaksikan penguburannya.”

Aku melihat sebentar foto ratusan atau mungkin ribuan manusia mengantarkan jenazah Willy Surendra Rendra.

“Sepertinya mereka pun datang untuk untuk mengucapkan selamat tinggal, dan berdoa,” kataku.

“Dia dulu pahlawanku, Pak.”

“Sekarang?”

“Setengah pahlawan.”

“Setengahnya lagi?”

“Hanya penulis sajak biasa.”

“Kenapa begitu?”

“Beberapa tahun ini sudah tidak terdengar lagi ringkiknya.”

“Ooh.. sudah terlalu tua untuk meringkik barangkali?”

“Atau mungkin sudah terlalu gemuk?”

Aku dan Ajat tertawa. “Mungkin juga.”

“Hush, tidak baik membicarakan orang yang baru saja wafat.”

Ajat menutup koran dan menaruhnya di bawah meja. Dia segera merebahkan punggungnya di sandaran sofa, memanfaatkan sisa waktu istirahat yang sangat singkat ini. Beberapa hari terakhir ini, aku biasa menghabiskan waktu istirahatku berbincang dengannya. Aku kira dia orang paling jujur di kantor ini, walau kejujurannya terkadang kasar, aku tahu itu meluncur langsung dari hatinya.

Kini, dia sedang memejamkan matanya, lalu membukanya kembali.

“Bertahun-tahun lalu, Pak” katanya mulai bercerita. “Aku hanyalah anak gembala dari kampung di pelosok kabupaten Banjaran. Setiap hari, sehabis pulang sekolah, aku bersama kakak-kakakku membantu Abah membajak sawah dan ladang jagung. Lihatlah kulitku, hitam keminyak-minyakan. Berbeda sekali dengan kulit bapak yang kuning pucat seperti jagung muda.”

Aku tersenyum. “Ladang kita berbeda, Ajat. Ladangmu harus tumbuh dan dibajak di bawah terik matahari, kau tidak bisa mematikan matahari di siang hari. Sedangkan ladangku, kau bisa lihat sendiri, di bawah atap gedung ber-AC, bersama orang-orang gila kerja dan bermuka dua. Aku membajak di atas kertas-kertas dan komputer yang kadang-kadang menjadi sialan kalau sedang rusak atau mati listrik. Aku bisa bekerja hingga malam larut. Saat itu, kau pasti sudah berintim-intiman dengan istri dan anak-anakmu.”

“Benar, benar sekali, Pak. Untuk itu aku selalu bersyukur, hidup bisa begitu sederhana dan menyenangkan bila kita sudah kembali ke rumah. Coba Pak, bandingkan dengan aku yang sedang berada di tempat ini sekarang. Di sini aku ditendang ke lubang toilet. Kerjaanku kalau tidak merokok di dapur, mengepel, disuruh-suruh, dan pastinya sedang menggosok kakus. Seperti itu, setiap hari, bertahun-tahun, menyikat lubang yang sama.”

Sejenak kami terdiam. Permasalahan kami sebenarnya memiliki akar yang sama, kami sedang menjadi manusia-manusia tragis, sama-sama menjadi budak. Bedanya hanya tampak dari luar. Ajat kotor dan bau, tapi dia jujur, pekerjaannya tidak menuntutnya untuk menjadi kotor secara mental. Sedangkan aku, berkerah putih, berdasi, bersepatu mengkilat, tapi seringkali aku tidak bisa menjamin integritasku sendiri.

Menghisap sebatang lisong, melihat Indonesia raya,” katanya tiba-tiba. Nampaknya Ajat sedang mengutip sebuah sajak. “Mendengar 130 juta rakyat. Dan di langit, dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka.

“Sajak yang bagus,” kataku.

“Itulah yang dikatakan Rendra, si Kuda Liar. Aku pernah mendengarnya dari guru SMPku di kampung. Kurasa sajak itu sengaja dibuat untukku. Aku benar-benar harus membersihkan kotoran cukong-cukong kotor itu.”

“Ku harap aku bukan salah satu dari cukong-cukong itu.”

“Oh, maaf, Pak. Tentu saja bapak bukan bagian dari mereka. Bapak orang baik.”

“Ah, kau bisa saja, Jat. Tapi aku pun tak mau menjadi bagian yang diberaki.”

Kami tertawa. Ironis.

“Asal kau tahu, Jat, waktu kecil aku pun sering pergi di sawah.”

“Membajak?”

“Bukan, hanya bermain-main. Aku ke sana hanya untuk mendengar kakekku bersenandung Jawa sambil sesekali memecut kerbaunya.”

“Jawa? Bapak dari Jawa?”

“Ya.”

“Bagian mana?”

“Kroya.”

“Kroya? Ah, kebetulan sekali. Lebaran tahun lalu sepupuku baru saja membeli kerbau dari Kroya. Saat ia akan membajak, kerbau itu tak mau melangkah, sepertinya sedang malas. Dia pecut berkali-kali, reaksinya hanya langkah-langkah tak terarah.”

“Lalu?”

“Lalu, selidik punya selidik, saat sepupuku itu membajak, ia memakai perintah dalam bahasa Sunda, senandungnya pun senandung Sunda. Si kerbau Kroya mana mengerti. Sepupuku berhari-hari melatihnya dalam bahasa Sunda, dan si kerbau akhirnya mau membajak dengan benar.”

Aku tertawa mendengarnya.

Tiba-tiba dari arah lantai dua terdengar suara lengkingan seorang perempuan.

“Ajaaat, Ajaaat, ACnya tiba-tiba matiiii. Cepat nyalakaan!”

Kami berpandangan.

“Baiklah, Pak. Suara tanda berakhirnya istirahat nampaknya sudah terdengar.”

Aku tersenyum. Dengan cekatan Ajat pergi dari ruang istirahatnya. Aku sendiri pun kembali membajak, berharap untuk tidak mengotori dan dikotori kantor ini.

Cinta Itu Berawal Dari Sebuah Kamar

Oleh: Sally Rosalina

Manisku, aku akan terus jalan
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru.
(Sebuah Tanya, Soe, 1969)


Jijik, sebuah kata yang selalu kupendam jika aku bertemu atau sedang membayangkan kawan laki-lakiku yang bernama Amat. Dia seusia denganku, kulitnya kuning dan pucat, seolah-olah tidak pernah tersinari matahari, namun jika aku dekati dia, aromanya benar-benar seperti nasi aking yang baru saja dijemur, ditambah dengan bau infeksi dari lubang telinganya yang nampak selalu berair, giginya besar-besar dengan dominasi warna hitam. Dia adalah kawan laki-lakiku yang paling payah rupanya, namun entah karena suatu sebab alamiah yang berasal dari reaksi kimia tubuhku dan tubuhnya, kami merasa benar-benar cocok. Kami berdua adalah pasangan yang cukup manis, seperti Beauty and the Beast (tentu saja, akulah si ‘Beauty’, ha-ha!)

Sore itu, 15 Januari 1998, aku sedang bertengger di sebuah cabang pohon yang basah dan licin karena hujan tadi siang sambil memerhatikan anak-anak ayam peliharaannya yang baru saja menetas beberapa hari yang lalu. Saat itu, Amat yang baru saja membeli satu ons bawang merah dari warung terdekat berteriak padaku dari bawah pohon dengan sebuah suara yang mirip dengan Popeye yang sedang menghisap cerutu, mungkin di alam semesta ini hanya aku yang paling mengerti ucapannya. Kira-kira seperti inilah teriakannya, ”Hey, monyet, turun!”.

Si monyet yang cantik pun turun dengan melompat dari ketinggian satu meter dan mendarat di atas kerikil-kerikil tumpul yang cukup membuat badannya terguling dan lecet-lecet. Benar-benar sepandai monyet!

Tak peduli dengan ketololanku yang kini sedang meringis kesakitan di hadapannya, Amat mengajakku berkunjung ke rumah Pak Hariman, tetangga kami yang wajahnya mirip dengan aktor Toro Margen. Amat berkata jika Pak Hariman baru saja membuka sebuah perpustakaan di sebelah rumahnya yang dulu bekas pekarangan.

Dengan tidak memiliki motivasi positif apapun, aku ikuti saja kemauannya. Sebenarnya hari itu aku sudah begitu malas menghadapi rutinitas sekolah yang setiap hari memaksaku memikul berbagai beban pe-er. Mungkin, itulah yang dirasakan sebagian penduduk bumi yang berusia dua belas tahun dan duduk di bangku SMP. Makanya, jika ada ajakan seajaib apapun yang keluar dari mulut Amat saat itu, aku akan menurutinya, hal ini lebih baik daripada harus melihat proses pengeluaran isi perut anak-anak ayam melalui rektumnya.

Setelah Amat menyerahkan pesanan bawang merah ibunya, dia segera menantangku lomba lari menuju rumah Pak Hariman. Aku terima tantangannya dan kemudian melesat menuju rumah Pak Hariman yang letaknya sekitar sepuluh menit berjalan kaki dan berada di sepanjang jalan menuju kaki bukit. Kami terus berlari, saling menyusul sambil tertawa-tawa yang kami sendiri tidak tahu apa yang sedang kami tertawakan, mungkin hanya sebuah bentuk kebahagiaan murni masa kecil.

Dari kejauhan, rumah Pak Hariman terlihat eksentrik, dengan bentuk rumah sederhana tipe 21 yang semua dindingnya dipulas warna jingga dan pagar besinya diberi warna hijau terang. Setiap orang yang melihatnya akan mengira jika sang empunya rumah pastilah orang yang buta warna.

Ketika tiba di depan rumah Pak Hariman, aku dapat melihat sebuah bangunan mungil, semacam kamar yang seolah-olah terpisah dari bangunan utamanya, luasnya sekitar lima kali enam meter persegi. Amat menunjuk tempat itu dan berseru jika tempat itulah perpustakaannya. Aku merasa kamar itu dibangun dengan asal-asalan dan tergesa-gesa di atas sebuah lahan yang dulunya adalah tempat tumbuh beraneka macam bunga yang berwarna-warni. Bangunan itu muncul seperti seekor buta ijo yang mengacak-acak rumah para dewa di kahayangan. Ini sama sekali bukan perpustakaan! Tempatnya tidak luas, tidak tinggi, dan hanya terbuat dari papan-papan kayu.

Tiba-tiba, dari belakang kami terdengar suara berat yang mengatakan bahwa tempat itu bukanlah perpustakaan. Kami menengok ke belakang dan memang betul, suara berat itu memang milik Toro Margen kita, Pak Hariman; seorang dosen dan ayah dari dua orang anak, dia selalu senang membantu seorang tetangganya yang motornya sering rusak. Saat itu si Toro Margen mengenakan kaus abu-abu loakan yang bertuliskan Freedom Is Never Free, dan dari keeksentrikannya aku yakin jika dia memiliki kecenderungan untuk apolitik, meskipun di pintu rumahnya tertempel miring stiker kuning bergambar pohon yang sering dijadikan rumah para dedemit, penyamaran politik yang cukup canggih!

Sambil memegang bahu Amat, dia menjelaskan jika tempat itu pada dasarnya memang sebuah perpustakaan, namun dia lebih senang menyebutnya dengan taman bacaan, sebuah istilah baru dan aneh bagiku, namun cukup imajinatif, ta-man ba-ca-an! Kemudian, dia mempersilakan kami memasuki taman bacaannya itu.

Ketika memasukinya, aku langsung dapat mencium bau semen basah dan serbuk kayu yang disamarkan oleh pewangi ruangan beraroma jeruk. Mataku berkeliling menyaksikan empat rak buku yang cukup besar bersandar pada masing-masing dinding kayu. Rak-rak itu berisi lusinan, atau mungkin ratusan buku.

Pak Hariman mempersilakan kami untuk membaca buku-buku itu sepuas hati kami. Dan dari sinilah Pak Hariman membuka peluang bisnisnya. Dia menjelaskan jika kami ingin membawa buku-buku itu pulang, maka kami akan dikenakan biaya sesuai tarif. Komik seharga dua ratus rupiah perhari, buku-buku fiksi dan non-fiksi lima ratus perhari, dan majalah lima ratus perhari. Namun Pak Hariman melarang kami membawa pulang buku-buku yang tersimpan di rak paling atas. ”Bahaya”, katanya.

Dengan penuh kepolosan dan rasa ingin tahu yang terlalu besar, Amat bertanya mengapa buku-buku itu bisa berbahaya, seolah-olah buku-buku itu akan akan mengeluarkan taring dan mengigit dirinya. Kemudian Pak Hariman menjawabnya dengan panjang lebar dan membosankan. Aku tidak terlalu tertarik dengan perbincangan itu, yang bisa kutangkap dari Pak Hariman hanya kata-kata seperti polisi, hati-hati, penculikan, bakar, komunis, dan istilah-istilah lain yang tak seharusnya Pak Hariman katakan pada kami yang baru saja mempelajari naskah proklamasi di buku sejarah sekolah.

Tiba-tiba Pak Hariman tertawa setelah melihat kejut ketakutan di wajah Amat. Mungkin Amat sedikit gentar ketika nama ’polisi’ disebut-sebut. Pak Hariman segera menenangkannya dengan mengatakan bahwa dia hanya ingin warga desa kami bisa dan mau mengerti tentang persoalan-persoalan bangsa dan dunia saat ini, dan langkah yang paling efektif adalah melalui buku sebagai jembatan ke tempat yang lebih terang benderang. Itulah tujuan Pak Hariman mendirikan sebuah kamar sempit yang berjejalan buku ini.

Untuk beberapa saat kamar itu menjadi hening. Kulihat mata Pak Hariman terlihat lebih sendu dan menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu yang belum terselesaikan. Lalu, dia menarik napas panjang dan sedikit tersenyum pada kami sambil berkata bahwa dia akan meneruskan pekerjaannya yang tadi sempat terpotong oleh kedatangan kami.

Setelah Pak Hariman keluar dari sana, langsung kudekati rak-rak itu. Aku mencium bau lembab dan kamper, kulihat sebagian kertas dari buku-buku tersebut sudah menguning dan pinggirannya sobek-sobek seperti dimakan usia. Di tengah ruangan yang kosong, telah terhampar karpet tipis murahan berwarna hijau.

Beberapa menit kuamati buku-buku itu dan bertanya-tanya dalam hati apakah Pak Hariman membaca semua buku ini. Ada sebuah perasaan haru dan bangga yang tak dapat kumengerti ketika menyaksikannya. Hebat, rumah Pak Hariman yang sederhana ini ternyata menyimpan kekayaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Kekayaan yang mungkin melebihi kekayaan orang-orang terpandang di desaku yang dengan penuh kenaifan menjual tanah warisan nenek moyangnya kepada para pengusaha real-estate. Kekayaan Pak Hariman yang tak terbeli bulan purnama itu bernama ilmu dan intelektualitas.

Di rak paling bawah, aku melihat lusinan novel yang warna sampulnya menyilaukan mata sekaligus menggoda bagi seorang anak dua belas tahun sepertiku. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta pada sebuah novel, walau sebatas sampulnya saja. Sebelumnya, aku belum pernah sekalipun membaca novel, selama ini aku hanya membaca komik, itu pun hanya yang bergambar robot kucing dari Jepang. Novel yang sampulnya berwarna-warni permen itu berjudul Goosebumps karangan R. L Stine.

Dengan penuh kenekadan, aku pinjam dua buah novel Goosebumps, berikut lima buah komik kucing favoritku. Sementara, Amat tidak meminjam apapun. Aku berhutang dulu saja pada Amat untuk membayar buku-buku yang kupinjam, aku sedang betul-betul bokek. Hari itu aku menjadi tahu jika taman bacaan adalah semacam tempat penyewaan buku.

Pak Hariman segera tiba di kamar itu setelah Amat memanggilnya. Lalu, dia menuliskan namaku, judul buku yang dipinjam, dan tanggal pengembaliannya pada sebuah buku tulis besar bersampul batik.

Ketika kami keluar dari ruang sempit itu, udara tiba-tiba terasa menjadi begitu segar dan hampir mengagetkan kulit wajah dan hidungku. Kombinasi aroma semen basah, serbuk kayu, pewangi jeruk, dan kamper tanpa kusadari telah membuat kepalaku terasa pening. Kuhirup oksigen sekuat-kuatnya sambil melangkah pulang meninggalkan taman bacaan ’buta ijo’ itu.

Malam harinya, dengan rasa penasaran yang menggila, kubaca habis dua novel yang kupinjam itu dalam waktu tak kurang dari tiga jam. Wow! Wow! Eureka! Tak pernah kubayangkan jika membaca buku bisa sangat mengasyikan. Malam semakin larut, dengan penuh kegelisahan dan keterpaksaan, kupejamkan mata sambil tetap membayangkan petualangan ajaib dan menggetarkan yang baru saja kualami di dunia Goosebumps.

Kini, taman bacaan itu telah memiliki nama, Taman Bacaan Matahari. Meskipun begitu, aku dan Amat tetap menamainya dengan Buta Ijo. Pada hari-hari berikutnya, tempat itu menjadi sebuah candu bagiku. Aku memilih kelaparan pada jam istirahat sekolah demi membayar buku-buku yang akan kupinjam dari Pak Hariman. Seringkali aku meminjam buku yang sama lebih dari satu kali dan kubaca berulang-ulang.

Semua seri Goosebumps telah habis kubaca, kemudian aku beralih dengan membaca buku yang pengarangnya adalah orang-orang Indonesia. Pertama kali yang aku baca adalah ’Kejar Daku Kau Kujitak’ dan ’Olga dan Sepatu Roda’ karangan mantan wartawan majalah Hai, Hilman Hariwijaya. Setelah itu, aku lanjutkan dengan membaca karya-karya yang lebih menantang, seperti kumpulan cerita pendek ’Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’ karangan Idrus. Kubaca buku ’Ave Maria’ itu dimana pun aku berada; di tempat tidur, di dapur, di ruang kelas, di angkot, hingga di jongko tukang bakso. Suatu kali si tukang bakso dengan penuh penghayatan mendengarkan lagu ’Jatuh Bangun’ milik Meggy Z dari radio bututnya, sementara aku duduk di jongko itu sambil membaca dampak Perang Dunia II terhadap celana khaki yang dikenakan orang Indonesia selama revolusi dalam ’Ave Maria’, aku masih merasa kejadian itu seperti sebuah keajaiban alam.

Berminggu-minggu kemudian aku terus datangi ’Buta Ijo’ tanpa ditemani oleh Amat. Aku sudah sangat jarang bertemu dengannya, tidak tahu kemana rimbanya bocah jelek itu, nyatanya dia tidak pernah ada di rumah. Hingga, pada suatu subuh di hari Minggu, ada suara laki-laki yang sepertinya menahan isak tangis keluar dari pengeras suara masjid yang memberitahukan jika Amat telah meninggal dunia. Aku tidak ingat apakah saat itu aku merasa sedih atau tidak atas berita kematiannya yang mendadak itu, yang jelas aku tidak menangis. Namun, aku ingat beberapa hari berikutnya aku merasa seperti galon air tanpa isi; kosong, kosong, ... kosong.

Beberapa waktu kemudian aku tahu jika Amat terkena penyakit liver dan sudah dirawat dua minggu di rumah sakit sebelum kematiannya.Bagi sebagian besar orang hari-hari berikutnya terasa sama, namun tidak bagiku. Hingga hampir sepuluh tahun kemudian aku menyadari bahwa Amat adalah kawan laki-lakiku yang paling tampan. Kebaikannya menyamarkan bau badannya, infeksi di telinganya, dan noda-noda hitam di giginya. Dialah orang yang pertama kali mengantarkannku pada dunia yang terang benderang ini.

Aku tahu jika Tuhan menciptakan alam semesta secara sempurna, begitu pun halnya pada nasib manusia. Inilah hal yang kurasakan pada saat itu. Kekosongan ini bertambah sempurna ketika Pak Hariman memberitahuku jika dia beserta keluarganya akan pindah rumah ke Sumedang. Dan, tentu saja hal ini menyadarkanku bahwa nanti tidak akan ada lagi tempat bagiku untuk menghabiskan waktu seusai pulang sekolah, tidak ada lagi tempat untuk berkeliling dunia, tidak ada lagi tempat berfantasi di alam yang penuh keajaiban, tidak ada lagi tempat sempit dengan aroma jeruk dan kamper yang sering memusingkanku. Di saat seperti ini pun aku tidak bisa menangis. Hanya mual, itu saja, sebuah akumulasi kesedihan yang bertumpuk pada tukak lambungku!

Sebelum meninggalkan rumahnya, Pak Hariman memberiku sebuah kenang-kenangan, yaitu sebuah buku kumpulan puisi karangan dirinya dan kawan-kawannya saat dulu dia menjadi seorang aktivis ’74. Kumpulan puisi yang benar-benar indah dan mengugah karena berasal dari orang-orang jujur dan tulus seperti Pak Hariman.

Setelah peristiwa itu, aku mencari cara untuk mengatasi ’candu’ku ini, terpaksa kukunjungi perpustakaan kota yang jaraknya dari rumahku paling tidak seperti dari Bumi ke Mars. Aku semakin keranjingan membaca, seolah-olah dewa kutu buku sedang merasukiku, ada semacam energi baru dalam diriku untuk terus menerus membaca dan belajar menjadi seorang cendikia yang baik seperti Pak Hariman. Kini, tujuanku membaca tak lagi sebatas mengisi waktu luang seusai sekolah atau mencari penghiburan semata. Tujuanku melebihi itu semua, aku mencari ide-ide yang mencerahkan, sebuah inspirasi, kedamaian, rasa kemanusiaan, atau bahkan drama kehidupan.

Semasa SMA, aku mulai menyukai non-fiksi, terutama biografi dan sejarah yang ternyata isinya lebih mencengangkan dari kisah-kisah dalam dunia fiksi. Namun, aku tetap membaca karya-karya sastra, seperti ’Di Bawah Naungan Kabah’ karangan Buya Hamka yang memberiku perspektif lain tentang cinta dan kasih sayang. Lalu, aku mulai suka membaca beberapa karangan dari Umar Kayyam, Mochtar Lubis, dan Pramoedya Ananta Toer, serta karya-karya terjemahan.

Buku telah kian menambah pengetahuanku tentang alam dan manusianya. Ada suatu perasaan menggebu yang timbul untuk memberikan rasa cinta dan sayang pada keduanya. Aku kira perasaan ini jauh lebih manis dan puitis dibandingkan dengan kisah cinta dua insan mana pun di dunia ini. Aku ingin menjadi bagian dari mereka yang telah mengubah perjalanan sejarah dunia dan masyarakatnya menjadi lebih baik, terutama lewat tulisan-tulisannya. Namun, aku merasa masih belum sepenuhnya memiliki jiwa ksatria untuk menghadapi segala konsekuensi yang akan kuhadapi melalui tulisan-tulisanku. Ya, aku akan belajar lagi.

Minggu, 27 Juni 2010

Untuk Dia si Anak Semua Bangsa

Oleh: Sally Rosalina

Dia datang dan berbicara dengan manusia-manusia yang dia cintai;
ibu, bapak, adik, guru, kekasih, kawan, penjual korek api di terminal, tukang cukur, supir truk!
Tentang Aceh, tanah yang kelabu dan tentang mimpi-mimpinya.
Tentang bumi yang semakin tua tempat orang berbicara tentang pertempuran-pertempuran yang tidak bisa mereka menangkan.
“Aku cinta damai,” katanya.
Mungkin, dia sedang bertempur hebat ke dalam dirinya
Atau, kukira dia telah ikut serta
menjadi prajurit tanpa senjata, melainkan penanya yang tajam.
Lihatlah ini: This is the path that I’ve chosen.
Tuhan, semoga ada kawan sejati yang selalu membela dalam pertempurannya itu.


Aku memang iri dengan tugas pribadinya yang menuju keabadian itu.
Tulisannya memang belum sebesar Tolstoy ataupun Pram,
Namun aku iri karena tulisan kecilnya telah menjadi bagian dari rangkaian sejarah dan peristiwa.
Tuhan, bantulah agar tulisan-tulisan itu menjadi ledakan bom di tanah yang laknat ini.

Dunia Mini Kita Berdasarkan Anak Rambo

Oleh: Sally Rosalina

Masih ingatkah kita akan sebuah film yang berkisah tentang anak-anak dengan segudang keajaiban, imajinasi, dan penuh kejujuran berjudul Son of Rambow? Kisah brilian tentang anak-anak dari daratan Inggris dengan setting musim panas awal 80’an. Kisahnya merupakan kisah abadi dari sebuah persahabatan murni yang tidak mungkin kita lupakan. Kita seolah-olah diajak kembali untuk mengingat masa-masa indah kita semasa kecil yang sempat terbius oleh legenda-legenda popular Amerika yang tak masuk akal itu, tanpa kecuali anak-anak hebat dari daratan Inggris ini. Mereka bernama Lee Carter dan William Proudfoot, serta seorang anak Perancis, Didier Revol.

Lee Carter, seorang anak bengal pembuat masalah, dia tak takut dicemooh, tak takut tekanan teman-teman sebayanya, tak takut dihina, tak takut pada siksaan apa pun. Pada intinya, dia tak takut pada dunia! Lalu, ada William Proudfoot yang melalui mata imajinernya yang luar biasa, kita mampu melihat lebih jelas kemunafikan-kemunafikan dan surialisnya keadaan masyarakat kita. Hanya seorang Williamlah yang mampu melihat kebaikan-kebaikan dalam diri Lee yang sarkastis itu. Ketika semua orang mencemooh dan mengerdilkan tindakan-tindakan Lee yang terkadang tidak masuk akal, William mampu melihatnya sebagai aset dan petualangan baru. William si tukang gambar yang begitu tergila-gila pada Rambo dapat menyalurkan ide-ide ajaibnya lewat berbagai fasilitas yang disediakan Lee. Adapula, Didier Revol, si anak Prancis dengan tampang bak seorang rock star namun sebenarnya berhati merah jambu, begitu terobsesi menjadi seorang aktor. Hal yang dapat menyatukan mereka bertiga hanyalah satu, film Rambo!

Budaya pop Amerika kala itu telah mengembus kuat pada lingkungan anak-anak ini yang sebenarnya dibesarkan dalam lingkungan yang konservatif. Dengan segenap usaha, mereka menciptakan sebuah dunia baru yang terilhami dari film murahan berjudul Rambo. William yang paling terpengaruh oleh film ini berusaha menjadi si anak Rambo dalam alam pikiran anak-anaknya. Didier hanya perlu ‘ada’ dalam film itu, sedangkan Lee adalah sang produser, sekaligus sutradara. Mereka adalah PARTNER IN CRIME!!

Yang paling menarik dari film Son of Rambow adalah ide-ide dan imajinasi dari anak-anak ini yang jauh melampaui masanya. Oleh karena itu, mereka dituduh sebagai anak nakal yang senang berulah. Padahal, mereka hanyalah sekelompok anak dengan beban energi yang terlalu besar dan tak mampu berlama-lama untuk mengendapkannya. Mereka tetap bergembira, bebas, dan tak terbatas. Jauh, jauh di lubuk hati mereka, mereka merasa terikat satu sama lain, ada sebuah perasaan sayang di antara mereka yang mereka tunjukan lewat dedikasi, kerja keras, dan kesetiaan pada satu proyek besar, yaitu membuat film! Mereka mengkreasinya dengan cara bersenang-senang; berenang, menggambar, menerbangkan layang-layang raksasa, berdansa tidak waras, mencabut kabel listrik, dan memakan permen pop rock bersama soda. Walaupun di tengah cerita terjadi pergolakan ide antara William dan Lee, namun pada akhirnya mereka kembali bersama dengan cara yang begitu manis dan penuh kearifan nilai-nilai.

Lalu, masih ingatkah, kawan, jika kita pernah seperti mereka? Tertawa-tawa, bercanda, bertengkar, merasa ringan, dan hanya diresahkan oleh beban pe-er dari sekolah, tanpa harus memikirkan berapa banyak pelanggan JNE hari ini yang akan mengirimkan barangnya ke kota lain, tanpa harus bertanya-tanya apakah pelanggan itu akan mengatakan, “Kalau enggak profesional, tutup aja sekalian!” atau “Mbak, kok barang yang ke kota Kupang belum nyampe, ya?” Atau, tanpa merasa gelisah karena hari ini khawatir tidak mampu mengendalikan murid-murid kita yang bengal, atau tidak dapat beristirahat dengan tenang ketika asma kita sedang kambuh hingga membuat lingkaran pada kedua belah mata ini seperti lingkaran mata panda? Apakah yang kita inginkan saat ini hanyalah berenang (walaupun tidak bisa berenang) di danau atau bermain layang-layang di tengah padang rumput sama seperti yang Lee dan William lakukan sambil mendengarkan Mother Nature’s Son? Atau menari wacko dance seperti Didier pertunjukan? Jawabannya, saya yakin, adalah ya, sangat, sangat ya!!

Terkadang, kita lupa bahwa dalam diri kita masih terdapat sifat murni anak-anak yang butuh dilepaskan. Kita butuh menjadi anak-anak kembali walau hanya sepersekian detik. Maka, keluarkanlah itu dari persemayamannya! Jangan segan-segan! Keluarkan dengan penuh keanggunan! Namun, berhati-hatilah, kita pun tak boleh membiarkan dunia mengotorinya. Karena, jika dunia telah mengotori sifat murni tersebut, maka semuanya palsu belaka, semuanya berubah menjadi satu hal, yaitu sifat kekanakan yang penuh kemunafikan!

Lepaskanlah ikatan yang membelenggu rongga dadamu. Mari kita jelajahi dunia seperti liburan kaum kusam, walau hanya sebatas pulau Bali! Jangan kau takut naik kapal laut hanya karena kau tak bisa berenang dan bertemu nenekmu di akhirat! Jangan kau takut bokek yang selalu, selalu, dan selalu menjadi permasalahan klasikmu! Jangan kau takut merasa lelah, bosan, dan seolah-olah besok tak mampu lagi menghadapi para pelanggan setia JNEmu yang menggelisahkan! Dan, jangan kau takut menghadapi salah seorang siswamu hanya karena dia tak masuk akal dan luar biasa manja!

Kita tak butuh Rambo, tak butuh Si Unyil, tak butuh Power Rangers, bahkan tak butuh Steve Urkel untuk menyatukan semua perasaan sayang! Yang kita butuhkan hanyalah pahlawan yang biasa-biasa saja. Ya, pahlawan itu bisa saya temukan pada kebaikan-kebaikan yang ada pada kau dan kau. Penampilanmu memang biasa-biasa saja, sobat, tapi kau adalah pahlawan!

Ya, kita memang tak mampu membuat film dengan kedahsyatan yang William, Lee, dan Didier miliki. Namun, kita cukup mampu untuk menciptakan dunia mini kita yang tak terjamah siapa pun dan tak terbeli oleh apa pun. Tetaplah berpegangan tangan, kawan, agar kita tidak terseret oleh kemunafikan dan sinisnya dunia yang begitu buas.