Selasa, 21 Agustus 2012

Libur Kecil Kaum Kusam

Oleh: Sally Rosalina

Rohmat sedang menikmati asap tembakaunya di bangku teras sebuah rumah kontrakan. Sore itu, Rohmat baru saja pulang dari sebuah pabrik sepatu tempat dia bekerja sebagai buruh. Sebenarnya, hari ini sangat sialan bagi Rohmat, mandor di pabriknya memaki Rohmat karena sebuah kesalahan. Mandornya adalah seorang wanita pemarah yang bengis. Wanita itu sering memakinya dan kawan-kawannya dengan perkataan yang tak pantas diucapkan oleh perempuan mana pun, atau mandor mana pun, sekali pun mandor lelaki. Tadi siang, Rohmat menghajarnya dengan sebuah nasihat bijak, “Enggak boleh begitu, Ibu seorang pimpinan yang sopan dan jadi panutan serta bisa jadi suri tauladan. Kalau memang anak buah Ibu bersalah panggil secara baik-baik, tegur dengan bahasa yang sopan dan santun, kalau cara Ibu begitu, Ibu bisa diapa-apain, bahkan bisa dibunuh.”

Si ibu mandor tentu murka bukan kepalang. Dia semakin memaki Rohmat, mengutuk-ngutukinya dengan kalimat-kalimat kotor. Rohmat yang sudah lelah sekali hari itu hampir gelap mata dan memukulnya, tetapi atas nasihat kawan-kawannya, Rohmat bisa menahan kegilaannya. Setelah kejadian itu usai, Rohmat tahu esok atau lusa dia akan mendapat ganjaran setimpal atas perbuatan pada mandornya tersebut.

Rohmat pulang dengan langkah gontai bak tentara kalah perang, dengus napasnya seperti suara kereta. Gajinya sebulan di pabrik itu tidak berimbang dengan segala deritanya hari ini, kemarin, atau esok hari.

Tiba-tiba, langkahnya itu menjadi tergesa saat dia teringat akan sebuah janji pada istrinya yang kini sedang hamil tua. Ia tahu istrinya sedang menunggu dengan setia di rumah.

Sebulan lalu, Rohmat berjanji untuk mengajaknya berkencan ke sebuah pasar malam di pinggir kota. Di sana, mereka akan melihat-lihat barang murah (kalau beruntung mereka akan membelinya), atau menikmati taman bermain dengan menaiki sebuah kincir ria yang berputar tidak terlalu tinggi. Tentu saja, gaji Rohmat yang hanya cukup untuk kakus itu tak membiarkan dirinya menyerah dalam mencicipi secuil gaya hidup orang gedean. Soal rekreasi: harus!

Di teras itu, Rohmat kini menunggu istrinya berdandan.

“Setelah dari pasar malam, kita akan ke mana, Bang?” tanya istrinya dari dalam rumah.

“Kita lihat nanti saja,” kata Rohmat.

“Bagaimana jika kita mampir dulu di warung soto Pak Dulah?”

“Pak Dulah yang berjualan di seberang bengkel itu?”

“Ya, seminggu lalu dia membuka warung soto di situ. Para tetangga bercerita sotonya enak dan gurih.”

“Baiklah, kalau sempat kita ke sana.”

Kemudian, Rohmat mematikan tembakaunya. Ia membantu istrinya menutup jendela dan mengunci pintu.

Cahaya mentari sedang menyambut senja. Angin yang berasal dari hiruk pikuk kota berhembus hangat, tidak sejuk. Namun, Rohmat dan istrinya menyambut petang ini dengan senang, seolah-olah tak ada lagi sore seperti sore ini. Ia lupa akan penderitaan tadi siang.

Dari gang tempat rumah kontrakan, mereka berdua berjalan menuju sebuah halte. Istrinya meraih tangan Rohmat, menggenggamnya. Rohmat balik menggenggamnya, lebih erat. Mereka tak berkata suatu apa pun selama perjalanan itu, hanya sesekali menjawab sapaan para tetangga yang mereka lalui.

Setelah menunggu hampir lima belas menit, bus kota pun tiba. Bus itu penuh sesak dengan penumpang yang baru pulang dari tempat kerja atau sekolah, atau mana pun, yang jelas kebanyakan dari mereka sedang menuju pulang. Ketika memasukinya, bus kota sore seperti sebuah rimba dipenuhi manusia-manusia letih yang mudah tersulut amarahnya. Masing-masing dari penumpang membawa persoalan hidupnya hari itu. Beruntung, seorang bapak tua yang tak tega melihat keadaan istri Rohmat segera mempersilakan untuk menduduki kursi yang tadi ditempatinya.

“Terima kasih, Pak,” kata Rohmat dan istrinya kepada si bapak tua, hampir berbarengan.

Istrinya duduk, sedangkan Rohmat berdiri di sampingnya, menjaganya dari keganasan penumpang bus.

“Kau tak apa-apa, ‘kan?” tanya Rohmat pada istrinya.

“Tidak apa-apa, Bang. Cuma dandananku ini jadi luntur, panas.” Istri Rohmat mengibas-ngibaskan tangan ke arah wajahnya.

Rohmat tersenyum lebar. Dia bisa melihat wajah istrinya itu sedikit belang-belang, bedak tabur yang dipakainya terhapus oleh bekas-bekas keringat yang berucucuran dari pelipisnya. Dalam hati kecilnya tak tega dia melihat itu. Suatu saat, dia harus mampu membeli sebuah motor agar tidak lagi bersaing dengan para penumpang bus ini. Motor bebek bekas pun sudah lebih dari lumayan, pikirnya.

Setengah jam berlalu di dalam bus. Rohmat dapat melihat dari kejauhan pasar malam itu. Tidak seperti namanya, pasar malam di pinggir kota ini tidak dibuka pada malam hari, tetapi sejak siang hari. Jalan menuju arah pasar begitu padat dan macet. Namun, Rohmat dan istrinya dengan sabar menunggu bus tiba di dekat gerbang pasar.

Saat bus sudah mulai mendekati pasar dan berhenti, mereka pun turun. Mereka memasuki gerbang pasar bersama ratusan pengunjung lainnya.

Pasar itu luas, sehingga mereka tak perlu lagi berdesakan seperti di dalam bus tadi. Mereka berjalan melewati banyak penjual barang dan makanan. Ada penjual sepatu, mainan, pakaian, panci, dan aneka perhiasan. Mereka melihat-lihat barang-barang murah yang tentu sangat mereka butuhkan untuk melengkapi kebutuhan rumah mereka yang mungil itu.

Setelah membeli beberapa barang termurah yang bisa mereka dapatkan, istri Rohmat mengajaknya untuk menaiki kincir ria yang sudah menjadi daya tarik andalan para pengunjung. Mereka menaiki wahana tersebut seperti masih kanak-kanak, derai tawa dan keriangan mengiringi ketika memasukinya.

“Kau senang?” tanya Rohmat.

“Ya, senang, senang sekali, Bang. Mau mencicipi manisan ini?” Istri Rohmat menawarkan arum manis yang baru dibelinya sebelum mengantri tiket. Rohmat mengambilnya sejumput, kemudian melahap manisan itu.

Rasa manisan yang meleleh di lidahnya, tawa istrinya, warna-warni kincir ria, dan lampu-lampu yang bergemerlapan di bawah sana mengobati rasa luka dan tangis tadi siang, walau untuk sementara. Pergilah derita hari ini, harapnya.

Tak terasa waktu berjalan, istri Rohmat mulai kelelahan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk segera pulang. Mereka kembali menunggu bus dan menaikinya. Kali ini, bus sudah tidak terlalu penuh dengan penumpang. Mereka berdua bisa duduk berdampingan.

“Mudah-mudahan kita bisa kemari lagi, ya, Bang?” kata istri Rohmat.

“Ya, kalau kau sudah melahirkan, dan kalau anak kita cukup besar, kita akan kemari lagi.”

Pasar malam itu semakin menjauh. Lampu-lampunya semakin bergemerlapan di malam hari. Mereka cukup lelah sehingga lupa mendatangi warung soto yang sudah direncanakan.

Akhirnya, Rohmat dan istrinya tiba di depan gang rumah kontrakan mereka. Saat tiba, mereka membuka pintu dan menyalakan lampunya.

Hari ini bagaikan sang raja. Dan, Rohmat tak pernah tahu bahwa esok adalah hari ketika dia akan ditahan polisi karena sudah menegur mandornya tadi siang.* (Based on True Story)

1 komentar:

  1. aira kalau merujuk ke bahasa inggris berhubungan dgn udara

    maaf saya coba melihat dari unsur ekstrinsiknya
    tokohnya Aira dan Cipto
    latarnya di Slovenia
    di tulisnya 25 desember 2010

    heummm

    BalasHapus