Rabu, 15 Agustus 2012

Aira Di Tepi Danau Bled

Oleh: Sally Rosalina

Aira dan Cipto tengah duduk di teras Kastil Bled, kastil tertinggi di Slovenia. Letaknya di atas sebuah tebing setinggi seratus tiga puluh meter di atas permukaan Danau Bled. Mereka menikmati teh panas dan kental yang disajikan dengan teko elegan berporselen putih.

“Sampai kapan konferensinya, Mas?” tanya Aira.

“Bukankan sudah kukatakan padamu konferensinya berakhir tiga hari lagi?”

“Benarkah?”

“Ya, kemarin sore, saat di hotel, kamu menanyakannya.”

“Belum, aku belum bertanya itu.”

“Ah, kamu jadi pelupa.”

“Kamu tidak suka, ya, kalau aku jadi pelupa begini? Maaf…”

“Bukan begitu, Aira. Aku tetap suka padamu, tentu saja. Hanya aku jadi khawatir.”

“Khawatir kenapa?”

“Khawatir saat kamu menjadi nenek-nenek, kamu sama sekali lupa padaku.”

Aira tertawa.

“Ah, Mas Cipto mengejek.”

Mereka berdua menatap ke arah danau, lalu Aira menuangkan secangkir lagi teh untuk Cipto, dan memasukkan satu kubus gula ke dalamnya.

Aira menyesap teh miliknya dan memejamkan matanya. Lalu, ia mulai bernyanyi-nyanyi lirih: I miss the warm, and I miss the sun, I miss the ocean, I miss everyone, I miss the bridges that span across the bay.


“Tahukah kamu, Mas Cipto darling, aku lebih suka berada di Italia? Udara di sana lebih hangat. Aku juga sangat ingin pergi ke pantai yang banyak tumbuh pohon kelapanya. Memandang birunya laut, menyaksikan bunga-bunga karang di dalamnya, merasakan pasir yang menusuk-nusuk lembut telapak kakiku.”

“Maaf, pergi ke mana? Aku tidak dengar jelas tadi.”

“Ah, kamu tidak mendengarkan ya, Mas? Aku tadi sedang mengoceh. Lupakan, sekarang dengarkan saja nyanyianku: I miss the warm, and I miss the sun, I miss the ocean, I miss everyone, I miss the bridges that span across the bay…

“Aira…”

“Ya, Mas.”

“Aku sangat kangen Indonesia, terutama kampung embahku di Jawa sana.”

“Pakem?”

“Ya, di Pakem sana. Kalau Maghrib tiba, suara adzan akan bersahutan dari satu kampung ke kampung lainnya. Aku juga bisa mendengar jangkrik-jangkrik mengerik, bernyanyian di sawah yang terhampar luas di belakang rumah embah. Lalu, aku bersama sepupu-sepupuku mengaji hingga datang waktu Isya’.”

Aira mendengarkan kata-kata suaminya itu. Lalu, mereka terisap dalam kebisuan selama beberapa waktu. Keduanya kini tengah memandang angkuhnya Pegunungan Alpen dari kejauhan. Permukaan Danau Bled di bawah kastil berkilauan dengan buih-buih ombak disapu angin senja.

“Kalau aku, Mas.. aku kangen dengan tukang mie ayam yang tiap pagi lewat di depan rumah. Sudah lama sekali aku tidak makan mie ayam. Aku juga kangen makan buah arum manis yang biasanya kupetik langsung dari pohon milik Pak Abul, tetanggaku yang tua dan cerewet.”

“Kamu sedang lapar, ya?”

Aira tertawa.

“Ya, aku saaangat lapar. Terkadang aku bisa sangat kelaparan di tanah Eropa ini. Makanannya tidak enak, tidak cocok dengan lidahku.”

“Kamu sudah mengatakan hal itu berkali-kali, Aira.”

“Benarkah?”

“Ya, sudah sangat sering, kukira.”

“Apa Mas Cipto bosan mendengarnya? Jangan bosan, ya, dengan ocehan-ocehanku ini? Di Eropa ini hanya kamu, Mas, yang benar-benar aku kenal. Aku tidak tahu lagi harus mengoceh pada siapa. Aku mohon, jangan bosan, ya, Mas?”

“Tentu saja tidak, Aira. Ricauanmu itulah yang selalu membuatku selalu merasa berada di rumah, merasa pulang. Sekarang, bernyanyilah lagi untukku.”

Aira mulai bernyanyi lagi. I miss the warm, and I miss the sun, I miss the ocean, I miss everyone, I miss the bridges that span across the bay, tonight it seems like ages ago.

Aira tersenyum pada Cipto sambil membelai punggung tangan suaminya itu.

“Terima kasih, Mas,” kata Aira.

Cipto membalas ucapan Aira dengan sebuah anggukan hikmat. Lalu, mereka kembali menyesap teh yang hampir menjadi dingin itu.

“Kita selalu menjadi sentimental kalau ingat kampung. Dan aku ini, Aira, aku ini anak kampung yang sentimental. Benar apa kata-kata dalam senandungmu itu. Aku juga kangen matahari dan birunya langit. Di sini, langit selalu nampak abu-abu.”

Tiba-tiba, Aira beranjak dari kursinya dan menarik tangan Cipto.

“Kita mau ke mana?”

“Ke pinggir danau.”

Keduanya menuruni kastil, menuju tepi Danau Bled. Saat dalam perjalanan itu, seorang turis yang tampak sedang mabuk menabrak bahu Cipto.

“Hey, watch out, Thai!” bentak laki-laki itu.

Matanya sangat merah, seperti api. Wajahnya gemuk kemerah-merahan. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang menyengat.

“I… I do apologize, Sir,” kata Cipto penuh sopan santun. “I didn’t do it in purpose.”

“Yeah. Screw you, monkey!”

“Hey, watch your mouth, Sir,” kata Aira. “You were the one who hit the man. YOU must apologize to him.”

“Oh yeah? I will never beg for sorry to y’ all, monkeys!”

“Ayo, Mas, kita pergi dari sini,” ajak Aira.

“Kasar sekali dia.”

“Pemabuk memang selalu kasar.”

Mereka berdua segera meninggalkan laki-laki gemuk yang masih tetap menggerutu itu.

Akhirnya, Aira dan Cipto tiba di tepi Danau Bled. Mereka duduk di sebuah bangku bercat putih. Angin yang berhembus di sekitar danau cukup menusuk wajah keduanya. Mereka memandangi danau yang terbentang di depan, biru seperti permata safir.

“Seandainya, di saat-saat seperti ini, aku masih bisa mendengar nyanyian jangkrik-jangkrik sawah itu, pasti akan jauh lebih indah, Aira.”

Aira menyandarkan kepalanya di bahu Cipto. “Kita akan segera pulang, Mas.”

Mereka menyaksikan keindahan itu dalam diam hingga terbenamnya matahari di Danau Bled.***

Bandung, 25 DESEMBER 2010

2 komentar:

  1. coba menebak tanpa men-googling: ini di Swiss kan ya?

    BalasHapus
  2. Whuaa,,,, bang Helvy, saya malu... Ini sebenarnya belum di edit..haha.. Acak-acakan banget.
    Ini bukan di Swiss bang, tapi di Slovenia :D

    BalasHapus