Minggu, 27 Juni 2010

Dunia Mini Kita Berdasarkan Anak Rambo

Oleh: Sally Rosalina

Masih ingatkah kita akan sebuah film yang berkisah tentang anak-anak dengan segudang keajaiban, imajinasi, dan penuh kejujuran berjudul Son of Rambow? Kisah brilian tentang anak-anak dari daratan Inggris dengan setting musim panas awal 80’an. Kisahnya merupakan kisah abadi dari sebuah persahabatan murni yang tidak mungkin kita lupakan. Kita seolah-olah diajak kembali untuk mengingat masa-masa indah kita semasa kecil yang sempat terbius oleh legenda-legenda popular Amerika yang tak masuk akal itu, tanpa kecuali anak-anak hebat dari daratan Inggris ini. Mereka bernama Lee Carter dan William Proudfoot, serta seorang anak Perancis, Didier Revol.

Lee Carter, seorang anak bengal pembuat masalah, dia tak takut dicemooh, tak takut tekanan teman-teman sebayanya, tak takut dihina, tak takut pada siksaan apa pun. Pada intinya, dia tak takut pada dunia! Lalu, ada William Proudfoot yang melalui mata imajinernya yang luar biasa, kita mampu melihat lebih jelas kemunafikan-kemunafikan dan surialisnya keadaan masyarakat kita. Hanya seorang Williamlah yang mampu melihat kebaikan-kebaikan dalam diri Lee yang sarkastis itu. Ketika semua orang mencemooh dan mengerdilkan tindakan-tindakan Lee yang terkadang tidak masuk akal, William mampu melihatnya sebagai aset dan petualangan baru. William si tukang gambar yang begitu tergila-gila pada Rambo dapat menyalurkan ide-ide ajaibnya lewat berbagai fasilitas yang disediakan Lee. Adapula, Didier Revol, si anak Prancis dengan tampang bak seorang rock star namun sebenarnya berhati merah jambu, begitu terobsesi menjadi seorang aktor. Hal yang dapat menyatukan mereka bertiga hanyalah satu, film Rambo!

Budaya pop Amerika kala itu telah mengembus kuat pada lingkungan anak-anak ini yang sebenarnya dibesarkan dalam lingkungan yang konservatif. Dengan segenap usaha, mereka menciptakan sebuah dunia baru yang terilhami dari film murahan berjudul Rambo. William yang paling terpengaruh oleh film ini berusaha menjadi si anak Rambo dalam alam pikiran anak-anaknya. Didier hanya perlu ‘ada’ dalam film itu, sedangkan Lee adalah sang produser, sekaligus sutradara. Mereka adalah PARTNER IN CRIME!!

Yang paling menarik dari film Son of Rambow adalah ide-ide dan imajinasi dari anak-anak ini yang jauh melampaui masanya. Oleh karena itu, mereka dituduh sebagai anak nakal yang senang berulah. Padahal, mereka hanyalah sekelompok anak dengan beban energi yang terlalu besar dan tak mampu berlama-lama untuk mengendapkannya. Mereka tetap bergembira, bebas, dan tak terbatas. Jauh, jauh di lubuk hati mereka, mereka merasa terikat satu sama lain, ada sebuah perasaan sayang di antara mereka yang mereka tunjukan lewat dedikasi, kerja keras, dan kesetiaan pada satu proyek besar, yaitu membuat film! Mereka mengkreasinya dengan cara bersenang-senang; berenang, menggambar, menerbangkan layang-layang raksasa, berdansa tidak waras, mencabut kabel listrik, dan memakan permen pop rock bersama soda. Walaupun di tengah cerita terjadi pergolakan ide antara William dan Lee, namun pada akhirnya mereka kembali bersama dengan cara yang begitu manis dan penuh kearifan nilai-nilai.

Lalu, masih ingatkah, kawan, jika kita pernah seperti mereka? Tertawa-tawa, bercanda, bertengkar, merasa ringan, dan hanya diresahkan oleh beban pe-er dari sekolah, tanpa harus memikirkan berapa banyak pelanggan JNE hari ini yang akan mengirimkan barangnya ke kota lain, tanpa harus bertanya-tanya apakah pelanggan itu akan mengatakan, “Kalau enggak profesional, tutup aja sekalian!” atau “Mbak, kok barang yang ke kota Kupang belum nyampe, ya?” Atau, tanpa merasa gelisah karena hari ini khawatir tidak mampu mengendalikan murid-murid kita yang bengal, atau tidak dapat beristirahat dengan tenang ketika asma kita sedang kambuh hingga membuat lingkaran pada kedua belah mata ini seperti lingkaran mata panda? Apakah yang kita inginkan saat ini hanyalah berenang (walaupun tidak bisa berenang) di danau atau bermain layang-layang di tengah padang rumput sama seperti yang Lee dan William lakukan sambil mendengarkan Mother Nature’s Son? Atau menari wacko dance seperti Didier pertunjukan? Jawabannya, saya yakin, adalah ya, sangat, sangat ya!!

Terkadang, kita lupa bahwa dalam diri kita masih terdapat sifat murni anak-anak yang butuh dilepaskan. Kita butuh menjadi anak-anak kembali walau hanya sepersekian detik. Maka, keluarkanlah itu dari persemayamannya! Jangan segan-segan! Keluarkan dengan penuh keanggunan! Namun, berhati-hatilah, kita pun tak boleh membiarkan dunia mengotorinya. Karena, jika dunia telah mengotori sifat murni tersebut, maka semuanya palsu belaka, semuanya berubah menjadi satu hal, yaitu sifat kekanakan yang penuh kemunafikan!

Lepaskanlah ikatan yang membelenggu rongga dadamu. Mari kita jelajahi dunia seperti liburan kaum kusam, walau hanya sebatas pulau Bali! Jangan kau takut naik kapal laut hanya karena kau tak bisa berenang dan bertemu nenekmu di akhirat! Jangan kau takut bokek yang selalu, selalu, dan selalu menjadi permasalahan klasikmu! Jangan kau takut merasa lelah, bosan, dan seolah-olah besok tak mampu lagi menghadapi para pelanggan setia JNEmu yang menggelisahkan! Dan, jangan kau takut menghadapi salah seorang siswamu hanya karena dia tak masuk akal dan luar biasa manja!

Kita tak butuh Rambo, tak butuh Si Unyil, tak butuh Power Rangers, bahkan tak butuh Steve Urkel untuk menyatukan semua perasaan sayang! Yang kita butuhkan hanyalah pahlawan yang biasa-biasa saja. Ya, pahlawan itu bisa saya temukan pada kebaikan-kebaikan yang ada pada kau dan kau. Penampilanmu memang biasa-biasa saja, sobat, tapi kau adalah pahlawan!

Ya, kita memang tak mampu membuat film dengan kedahsyatan yang William, Lee, dan Didier miliki. Namun, kita cukup mampu untuk menciptakan dunia mini kita yang tak terjamah siapa pun dan tak terbeli oleh apa pun. Tetaplah berpegangan tangan, kawan, agar kita tidak terseret oleh kemunafikan dan sinisnya dunia yang begitu buas.

1 komentar:

  1. Apakah yang kita inginkan saat ini hanyalah berenang (walaupun tidak bisa berenang)...

    kelelep dong

    BalasHapus